EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk tidak meneruskan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pada minyak goreng kemasan. HET kini hanya berlaku pada minyak goreng curah sebesar Rp 14.000 per liter. Belajar dari kebijakan sebelumnya, HET sebetulnya tidak efektif dalam meredam kenaikan harga, kenapa?
“Kementerian Perdagangan menggunakan DMO dan HET dalam pengendalian harga karena memang itu instrumen yang mereka punya. Namun jika ada masalah lain, misalnya ongkos distribusi dan produksi yang memang meningkat, maka DMO dan HET semakin tidak efektif,” jelas Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/3/2022).
Keragaman ongkos distribusi di berbagai daerah mengancam kesuksesan HET. Pabrik minyak goreng, yang lebih banyak berada di wilayah Indonesia Barat seperti Sumatera dan Jawa, membutuhkan ongkos produksi yang berbeda saat akan mengirimkan minyak goreng ke tujuan yang berbeda pula.
Perbedaan ini akan membuat harga minyak goreng di Indonesia akan bervariasi di berbagai wilayah yang berbeda di hari-hari normal. "Kalau memang ada variasi harga meskipun pada hari biasa, maka HET mengancam kelangkaan di daerah-daerah yang distribusinya relative lebih sulit. Apalagi saat ini harga-harga energi dan kapal sedang mahal-mahalnya," ujarnya.
Ia memaparkan, HET Minyak goreng kemasan sudah lama akan diatur oleh pemerintah. Ada aturan yang mewajibkan retailer untuk menjual minyak goreng dalam kemasan, tidak boleh lagi curah. Namun implementasi peraturan ini tertunda terus karena harga minyak goreng kemasan akan jadi terlalu mahal jika dipaksakan untuk semua produsen dan konsumen.
“Akhirnya sampai sekarang pun aturan tersebut terus tertunda. Harusnya kalau berkaca dari penundaan-penundaan ini, HET sudah dapat diduga akan menimbulkan masalah,“ jelasnya.
Ia menambahkan, membicarakan supply side berarti juga harus menyelesaikan masalah tenaga kerja, cuaca dan harga pupuk. Ditambah penggunaan lahan milik negara yang perlu koordinasi dengan Kementerian LHK.
Permasalahan distribusi juga selalu ada pada setiap komoditas Indonesia dari dulu. Semua hal tersebut, yang secara fundamental akan menaikan harga minyak goreng tidak ada di kewenangan Kementerian Perdagangan.
“Masalah minyak goreng ini sebenarnya luas penanggung jawabnya. Tidak bisa hanya menunjuk Menteri Perdagangan,” ujarnya.
Krisna menyatakan, langkah Kementerian Perdagangan yang akhirnya menghentikan kebijakan HET pada minyak goreng kemasan hingga peningkatan pungutan ekspor hingga 80 persen cukup tepat. Peningkatan besaran pungutan ekspor memungkinkan pemerintah untuk mensubsidi minyak goreng, setidaknya untuk minyak goreng curah.
Minyak goreng kemasan kembali berjejer di rak-rak minimarket dan pasar swalayan walaupun harganya tinggi. Setidaknya, kondisi ini juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mengoptimalkan sendiri alokasi belanjanya.
Harga yang pertama kali lepas mungkin saja naik pesat. Namun seiring bertambahnya pasokan dan dimulainya kembali produksi, akan muncul proses pembentukan harga berdasarkan supply dan demand.