EKBIS.CO, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyakini investor swasta melalui lembaga pembiayaan memiliki minat yang besar untuk terlibat dalam pendanaan sektor energi baru terbarukan (EBT)."Terkait minat dan partisipasi sektor swasta saya meyakini tidak perlu diragukan. Porsi EBT dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tidak akan kekurangan peminat dari sektor swasta," kata Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Muhammad Yusrizki dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu (19/3/2022).
Ia mengatakan hal yang harus diupayakan terkait pendanaan ini adalah bagaimana sektor jasa pembiayaan dapat memainkan peran serta aktif untuk mendukung ekseksi proyek-proyek EBT yang landasannya sudah disusun via RUPTL 2021-2030."Pada konteks ini Kadin mengharapkan perhatian dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk duduk bersama-sama dengan sektor swasta," kata Yusrizki.
Menurut dia, OJK idealnya melanjutkan Green Taxonomy yang sudah disusun kepada sebuah metode risk-based adjustment untuk membentuk ekosistem pembiayaan hijau di industri pembiayaan Indonesia. Untuk itu, Kadin juga meminta pertimbangan OJK dalam menyusun Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) khusus bagi pembangkit-pembangkit EBT yang memiliki kontrak dengan PLN.
"Bagi perbankan ATMR ini akan turut menentukan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh pengembang. Jika dilihat dari tingkat suku bunga, saat ini tidak terlihat perbedaan antara pembiayaan untuk kredit properti dengan kredit untuk pembiayaan EBT," katanya.
Jika diperlukan, tambah dia, perbankan dapat mempertimbangkan untuk membuat sebuah klasifikasi kredit khusus EBT, seperti sektor properti yang memiliki klasifikasi KPR dan KPA untuk konsumen dan Kredit Yasa Griya (KYG) khusus pengembang.Menurut dia, melalui klasifikasi seperti ini, perbankan dapat melakukan analisa risiko yang lebih terfokus terkait properti-properti yang akan diberikan pembiayaan.
Selama ini, faktor tersebut tidak dimiliki oleh sektor EBT sehingga sering kali analisa risiko untuk sektor EBT disamaratakan dengan sektor non EBT. Yang lebih parah apabila analisa risiko pembangkit EBT disamakan dengan risiko pembangkit fosil seperti PLTD, PLTG atau PLTU.
Dengan kondisi itu, Yusrizki mengajak OJK, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan lembaga pembiayaan, baik BUMN dan non-BUMN, untuk bergerak cepat membangun sebuah pola pandang dan pembiayaan khusus proyek EBT.
"PLN akan membuka pengadaan untuk proyek de-dieselisasi yang akan memberikan volume besar bagi pergerakan EBT di Indonesia. Akan sangat ideal apabila sektor jasa keuangan turut berperan serta secara aktif dengan melihat dan merancang pola pembiayaan mulai dari proyek de-dieselisasi ini," katanya.
Yusrizki juga menyarankan lembaga pembiayaan, khususnya perbankan, mengikut langkah SMI untuk melakukan net zero pledge karena dapat menjadi salah satu katalis dalam percepatan investasi net zero emission."Salah satu aspek net zero pledge bagi perbankan adalah dengan memperhitungkan emisi atas portfolio kredit mereka, atau Scope 3 sesuai definisi dari GHG Protocol. Net zero dalam kerangka portfolio kredit artinya jika perbankan memiliki satu portfolio kredit, misalnya untuk batu bara, maka bank tersebut harus menyeimbangkan portfolio kredit tersebut dengan dua atau tiga proyek EBT," ujarnya.