EKBIS.CO, JAKARTA -- Tekanan inflasi yang terus meningkat membuat Bank Indonesia berhati-hati dalam mengkalibrasi kebijakan moneter. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo memastikan bahwa kebijakan moneter BI akan sangat terukur, terkalibrasi dengan baik, memperhatikan waktu yang tepat, dan dikomunikasikan secara baik.
"Kami mengarahkan kebijakan moneter untuk pro stabilitas, kebijakannya akan terkalibrasi, direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (19/4/2022).
Perry mengatakan, tekanan inflasi memang terus meningkat karena eskalasi yang terjadi pada konflik Rusia-Ukraina. Kenaikan harga komoditas global juga tertransmisi pada kenaikan harga-harga di dalam negeri.
Hal ini menyebabkan inflasi pada komponen administered price yakni harga barang atau jasa yang beredar di masyarakat berdasarkan aturan pemerintah. Perry mengatakan, kenaikan inflasi administered price ini bisa berpengaruh pada kenaikan inflasi inti.
"Inflasi inti bisa naik karena kenaikan di administered price, tapi tentu saja relatif akan lebih rendah dibanding kondisi normal karena kesenjangan output (output gap) kita masih negatif," katanya.
BI akan menaikan suku bunga acuannya jika melihat tanda-tanda kenaikan pada inflasi inti. Sehingga kenaikan di administered price seperti yang terjadi saat ini tidak akan mempengaruhi suku bunga secara langsung.
Perry mengatakan, kenaikan inflasi inti pun tidak hanya bisa direspons dengan kenaikan suku bunga. BI bisa menaikan Giro Wajib Minimum terlebih dahulu. Saat ini, BI terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengkalibrasi seberapa jauh kenaikan harga komoditas global berdampak pada inflasi administered price dalam negeri.
"Nanti kami akan sampaikan lebih lanjut, yang jelas kami pertimbangkan timing dan magnitude-nya karena kebijakan moneter untuk keperluan jaga stabilitas," katanya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo menambahkan terkait output gap yang saat ini masih dalam keadaan baik. Dody mengatakan, kondisi output gap yang lebar membuat peningkatan permintaan tidak akan berpengaruh signifikan pada inflasi.
Dody menjelaskan terkait agregat supply dan demand. Pada saat agregat demand naik tanpa diikuti oleh peningkatan supply maka akan menyebabkan menyempitnya output gap sehingga memberi pengaruh ke inflasi.
"Outlook kita, tambahan output nasional akan terbentuk pemulihan ekonomi, sisi investasi akan tumbuh 5-5,5 persen jadi harapannya output nasional naik jadi supply naik," katanya.
Dengan supply yang naik, maka akan mampu memenuhi kondisi demand yang saat ini juga sedang naik. Sehingga kenaikan harga karena supply yang kurang diharapkan tidak akan terjadi. Output gap Indonesia sempat menyempit karena kinerja manufaktur melambat disebabkan pandemi.
"Kedepan output gap akan tetap besar, jadi tidak akan pengaruh pada inflasi pada saat permintaan meningkat," katanya.