EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Anggaran (Banggar) menilai perubahan dari harga Indonesia crude price (ICP) berkonsekuensi terhadap postur belanja di dalam anggaran pemerintah. Adapun perubahan-perubahan ini berkonsekuensi pada perubahan pos belanja negara secara keseluruhan.
Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan konsekuensi dari perubahan ICP yang semakin besar, maka belanja subsidi dan kompensasi energi otomatis juga semakin meningkat. Adapun usulan pemerintah belanja negara menjadi sekitar Rp 3.106 triliun.
"Hal inilah yang menyebabkan kedaruratan pada APBN 2022," ujarnya saat rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani secara virtual, Kamis (19/5/2022).
Pemerintah mengusulkan perubahan ICP dari 63 dolar AS per barel menjadi kisaran 95 dolar AS sampai 105 dolar AS per barel. Pemerintah memperkirakan penambahan subsidi BBM, LPG dan listrik berkisar antara Rp 74,9.
Selain itu ada kebutuhan untuk menambah biaya kompensasi BBM sebesar Rp 234 triliun serta penambahan kompensasi listrik sekitar Rp 41 triliun. Adapun penambahan beberapa pos belanja diatas juga berkonsekuensi menyerap tambahan penggunaan SAL sekitar Rp 50 triliun.
"Yang patut kita syukuri, penambahan beberapa pos belanja negara dapat kita penuhi dengan perkiraan pendapatan negara yang bertambah," ucapnya.
Pemerintah memperkirakan kenaikan pendapatan negara menjadi Rp 2.266 triliun dari perencanaan semula pada APBN 2022 sebesar Rp 1.846 triliun.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta penambahan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) belanja subsidi dan perlindungan sosial. Adapun penambahan anggaran dan kompensasi BBM sebesar Rp 275 triliun.
Sri Mulyani menyebut tingginya harga komoditas dan energi menyebabkan adanya selisih antara asumsi harga minyak atau ICP yang tercantum dalam APBN sebesar 63 dolar AS per barel. Saat ini, rata-rata harga ICP telah mencapai 99,4 dolar AS per barel.
Hal tersebut menyebabkan adanya kekurangan kebutuhan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pembayaran kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Sri Mulyani menyebut kebutuhan biaya subsidi akan melonjak dari Rp 134 triliun menjadi Rp 208,9 triliun dan kompensasi melonjak dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 234,6 triliun.
"Pilihannya hanya dua, kalau ini anggaran subsidi dan kompensasi tidak dinaikkan harga BBM dan listrik naik, kalau harga BBM dan listrik tidak naik ya ini yang naik. Tidak ada in between, pilihannya hanya dua," ucapnya.
Pemerintah meminta adanya tambahan anggaran subsidi energi sesuai dengan selisih yang muncul antara alokasi awal dengan kebutuhan biaya setelah kenaikan harga energi. Sri Mulyani meminta tambahan anggaran subsidi itu dibayarkan keseluruhan.
"Kami mengusulkan tambahan subsidi energi 2022 Rp 74,9 triliun yaitu BBM, LPG, dan listrik, ini kami usulkan dibayarkan keseluruhan," katanya.
Terkait kompensasi, Sri Mulyani menyebut masih terdapat tagihan kompensasi tahun lalu senilai Rp 108 triliun. Kemudian, saat ini terdapat kebutuhan penambahan anggaran subsidi dan kompensasi hingga Rp 216,1 triliun, sesuai selisih alokasi awal dengan kebutuhan terbaru, tetapi Sri Mulyani tidak meminta pembayaran kompensasi secara langsung.
“Maka itu saya mengusulkan ke DPR dari Rp 108 triliun yang berasal dari tagihan kompensasi tahun lalu, plus sekarang diproyeksikan akan menjadi Rp 291,1 triliun, kami meminta Rp 275 triliun saja," ucapnya.
Dia menyebut pemerintah akan membawa (carry over) sisa kompensasi senilai Rp 49,5 triliun ke 2023, terdiri dari Rp 44,5 triliun khusus BBM dan Rp 5 triliun khusus listrik."Kami akan minta audit BPKP, pembayaran setelmennya akan dilakukan pada 2023 sebesar Rp 49,5 triliun," ucapnya.