EKBIS.CO, JAKARTA -- Berbulan bulan masyarakat dibingungkan dengan kegaduhan tentang adanya zat kimia di galon air minum dalam kemasan (AMDK). Jika terus berlanjut, hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk industri pangan.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio isu tersebut murni persaingan usaha antara produsen AMDK pengguna galon guna ulang berbahan Polikarbonat (PC) dengan produsen AMDK pengguna galon sekali pakai PET.
“Isu BPA 100 persen isu persaingan antar usaha,” ujarnya ketika dihubungi Republika, pekan ini.
Ia menilai BPOM perlu konsisten terkait dengan persoalan ini. Alasannya mereka sudah dua kali merilis pernyataan aman terhadap penggunaan galon guna ulang berbahan PC. Rilis pertama dimuat dalam laman resmi BPOM pada Januari 2021, dan rilis kedua dimuat pada Juni 2021.
Pada kedua rilisnya itu, BPOM menyampaikan bahwa berdasarkan hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon AMDK jenis PC atau galon guna ulang, airnya aman dikonsumsi.
BPOM mengatakan nilai migrasi BPA dari kemasan galon jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Disampaikan, pernyataan resmi BPOM ini untuk mengklarifikasi berita-berita yang tidak benar soal BPA pada kemasan galon AMDK. Disebutkan, rilis ini dimuat untuk memastikan kepada masyarakat bahwa AMDK galon guna ulang yang beredar aman dikonsumsi.
Dalam rilisnya itu, BPOM juga meminta masyarakat tetap tenang dengan adanya pemberitaan di media terkait keamanan kemasan galon AMDK berbahan PC. Sebab, hasil pengujian terhadap BPA dari penggunaan plastik jenis PC sebagai kemasan galon masih dinyatakan aman. BPOM bahkan mengimbau masyarakat untuk menjadi konsumen cerdas dan tidak mudah terpengaruh oleh isu yang beredar.
Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) juga menegaskan bahwa isu ini merupakan persaingan usaha yang menyeret dan melibatkan regulator, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada Oktober 2021, BPOM menyampaikan draft revisi peraturan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Peraturan ini sebenarnya sudah direvisi pada Agustus 2021, namun pada draft yang diajukan Oktober 2021 lalu ke Sekretariat Kabinet ditambahkan pasal baru yang dinilai diskriminatif dan tidak sensitif pada persaingan usaha industri AMDK, khususnya produk galon.
Adapun revisi yang diajukan itu akan mewajibkan AMDK galon guna ulang berbahan PC untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya. Sedangkan galon sekali pakai berbahan PET boleh mencantumkan label ‘bebas BPA’.
Agus Pambagio mempertanyakan rencana kebijakan tersebut. Dia menilai keputusan ini menjadi sebuah keanehan karena selama puluhan tahun BPOM tidak mewajibkan pelabelan potensi kandungan BPA terhadap galon.
Menurut Agus, BPOM dalam peraturan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan jelas tidak meresahkan penggunaan PC sebagai kemasan minuman dan menyatakan aman digunakan. Dikarenakan migrasi kadar BPA yang ada pada galon polikarbonat masih jauh di bawah angka persyaratan BPOM yang tercantum pada peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019
tentang kemasan pangan.
Seharusnya, BPOM perlu menjelaskan empat hal agar polemik ini menjadi terang antara lain, pertama kemasan galon AMDK yang terbuat dari PC selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.
Kedua, untuk memastikan paparan BPA pada tingkat aman, Badan POM telah menetapkan Peraturan Nomor 20. Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Peraturan ini mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC.
Ketiga, kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan belum ada risiko bahaya kesehatan terkait BPA karena data paparan BPA terlalu rendah untuk menimbulkan bahaya kesehatan. EFSA menetapkan batas aman paparan BPA oleh konsumen sebesar empat mikrogram/kg berat badan/hari.
Keempat, beberapa penelitian internasional juga menunjukkan penggunaan kemasan PC termasuk galon AMDK secara berulang tidak meningkatkan migrasi BPA.
“Produsen galon yang menggunakan PC juga punya botolnya, berikut kemasan yang lain. Dalam pengaturan galon harus keduanya PET dan PC diregulasi secara adil. Dalam hal ini BPOM tidak adil, sebagai regulator tidak boleh mengeluarkan aturan diskriminatif. Saya tidak tahu ada campur tangan politik atau tidak, BPOM yang pasti mendapat tekanan,” ucapnya.
Agus menilai BPOM melakukan diskriminasi dalam menerima masukan publik dan cenderung mendengarkan pihak-pihak yang diduga akan mendapatkan keuntungan atas revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Tahun 2018.