EKBIS.CO, JAKARTA -- BPJS Kesehatan akan memberlakukan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai bulan Juli. Uji coba KRIS akan dilakukan di lima rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman mengatakan, berdasarkan koordinasi dengan DJSN dan Kemenkes uji coba akan dilakukan pada bulan Juli. Nantinya, uji coba penerapan KRIS akan dimulai di lima rumah sakit pemerintah.
"Dalam hal ini BPJS Kesehatan bukan sebagai leading sektor dalam penerapan uji coba KRIS. BPJS Kesehatan berperan dalam mengelola pendaftaran, iuran dan menjamin biaya pelayanan kesehatan para peserta JKN, sekaligus memastikan mutu layanan secara optimal," kata Arif kepada Republika.co.id, Kamis (30/6/2022).
Perlu diketahui bahwa jumlah RS yang melayani peserta JKN itu sebanyak 2.800an rumah sakit seluruh Indonesia. Artinya, secara umum pelayanan untuk peserta JKN di rumah sakit masih berlangsung seperti sedia kala.
Uji coba ini utamanya melihat kesiapan rumah sakit dalam menerapkan 9 sampai 12 kriteria KRIS yang sudah ditetapkan. "Misal ketersediaan tempat tidur maksimal 4 dalam satu ruangan, standar ketersediaan tenaga kesehatan, standar suhu ruangan dan sebagainya untuk meningkatkan standar pelayanan, keamanan, dan kenyamanan bagi peserta," terangnya.
Selanjutnya terkait iuran, saat ini tidak ada wacana perubahan iuran. Skema dan besaran iuran masih sama dengan sebelumnya.
Aturan masih mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, bahwa besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN. Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai Peserta PBI, iurannya sebesar Rp 42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.
Bagi Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) atau pekerja formal baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, POLRI dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5 persen dari upah, dengan rincian 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja. Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.
"Jadi perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," ujarnya.
Terakhir, bagi kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dikelompokkan sebagai peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja). Untuk jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki.
"Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per org per bulan dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per org per bulan. Perlu diketahui juga bahwa khusus PBPU kelas 3 sebetulnya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 7.000 per org per bulan, sehingga sebetulnya total nya Rp 42.000," rincinya.
Sehingga, bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2 atau 3. Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah.
"Terakhir, BPJS Kesehatan senantiasa mengedepankan mutu pelayanan dan kepuasan para peserta. Dan kami pun senantiasa mendukung dan menjalankan setiap regulasi yang telah ditetapkan pemerintah," tegasnya.