EKBIS.CO, JAKARTA -- Anggota Komite BPH Migas, Yapit Sapta Putra, mengungkapkan, situasi di dunia sedang berada dalam kondisi sulit akibat dampak dari perang Ukraina dan Rusia. Untuk itu, kebijakan menaikkan harga BBM menjadi solusi yang ditempuh oleh pemerintah.
"Dunia dalam keadaan tidak baik tidak hanya Indonesia. Covid sudah ada ujung terang mulai berangsur penurunan kasus, tetapi dilanjutkan ketegangan Rusia dan Ukraina," tutur Yapit, Sabtu (24/9).
Pemerintah menetapkan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 jadi Rp 14.500 per liter berlaku pada Sabtu 3 September 2022 mulai pukul 14.30 WIB
Kenaikan harga BBM ini dilakukan bukan tanpa alasan. Terdapat sejumlah pertimbangan yang telah dilakukan untuk mengambil keputusan ini. Anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 telah meningkat 3 kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun dan itu akan meningkat terus.
Membengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi ini, sayangnya tidak dibarengi dengan sasaran subsidi yang tepat. Pasalnya, lebih dari 70 persen subsidi BBM justru dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu yang memiliki mobil.
"Kenaikan harga BBM tidak bisa dihindari lagi pilihannya dinaikkan atau lama kelamaan perekonomian akan drop," ujarnya
Menurut dia, kebijakan mengintervensi minyak dan gas itu tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lainnya, seperti Jerman, Prancis, Inggris dan Italia.
Apalagi, kata dia, pada akhir tahun benua Eropa akan mengalami musim dingin, di mana berpeluang terjadi lonjakan harga komoditas.
"Lonjakan harga komoditas akan dihadapi warga dunia termasuk Indonesia. Rusia memiliki komoditas itu sangat banyak maka impact luar biasa," ucapnya.