EKBIS.CO, JAKARTA - Indonesia sebagai salah satu negara endemis dianggap telah berhasil dalam mengendalikan situasi Avian Influenza (AI) melalui program vaksinasi oleh World Organization for Animal Health (WOAH/OIE). Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nuryani Zainuddin.
Melalui rilisnya pada Jumat (29/10/2022), Nuryani menjelaskan atas keberhasilan tersebut Indonesia diundang untuk berbagi pengalaman dalam pengendalian HPAI H5N1 pada pertemuan High Pathogenicity Avian Influenza-Vaccination Strategies to Prevet and Control HPAI: Removing Unnecessary Barierr for Usage. Agenda ini diselenggarakan oleh International Alliance for Biological Standarization (IABS) dan World Organization for Animal Health (WOAH/OIE) di Paris, Perancis pada 25-26 Oktober 2022.
Pada pertemuan yang dihadiri lebih dari 140 peserta para pakar virologi dan epidemiologi AI serta berbagai pemangku kepentingan dari berbagai negara tersebut, Indonesia diminta untuk memaparkan strategi vaksinasi flu burung (Avian Influenza/AI). Pertemuan tersebut dilaksanakan karena saat ini industri perunggasan dihadapkan dengan ancaman global penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) jenis HPAI H5Nx clade 2.3.4.4b yang sejak Oktober 2020 menyebabkan wabah di beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika.
Nuryani mengatakan penyebaran virus tersebut tidak terkendali karena melibatkan burung-burung migrasi dan sebagian besar terjadi di negara-negara yang belum melakukan vaksinasi AI. Namun berdasarkan data surveilans, virus HPAI H5Nx clade 2.3.4.4b ini belum ditemukan pada ternak unggas di Indonesia.
"Vaksinasi dapat menjadi alat yang berguna untuk pencegahan dan pengendalian virus AI, namun penggunaannya masih dilarang atau dibatasi di banyak negara," kata Nuryani.
Ia pun berpendapat, penggunaan vaksinasi AI yang tepat dapat meningkatkan keberlanjutan produksi unggas, meningkatkan kesejahteraan hewan, mengurangi kerugian ekonomi, dan mengurangi risiko infeksi pada manusia. Nuryani juga menyampaikan vaksinasi bukan penghalang perdagangan antar negara sepanjang dapat dibuktikan bahwa tidak ada infeksi virus dan ini dibuktikan dengan hasil surveilans.
“Hal ini terbukti dengan diterimanya unggas dan produk turunannya yang telah diekspor ke beberapa negara, seperti Jepang, Singapura, Myanmar, Timor Leste, dan negara lainnya,” jelasnya.
Kepala Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates Hendra Wibawa sebagai perwakilan dan utusan Indonesia dalam pertemuan tersebut mengatakan Komite Sains IABS meminta Indonesia menyampaikan pembelajaran pengendalian AI menggunakan vaksinasi di negara endemis. "Kami jelaskan bahwa strategi vaksinasi AI di Indonesia tetap memperhatikan perkembagan dan dinamika virus AI yang terus bermutasi," kata Hendra.
Untuk diketahui, BBVet Wates merupakan Laboratorium Rujukan Nasional Penyakit AI sekaligus Focal Point Jejaring Influenza Virus Monitoring (IVM Network) tersebut. Menurut Hendra selain vaksinasi, pengendalian AI di Indonesia difokuskan pada penguatan surveilans deteksi virus pada peternakan dan rantai perunggasan termasuk pasar unggas hidup, peningkatan biosekuriti peternakan, komunikasi dan edukasi kepada stakeholders khususnya peternak, serta peningkatan unit peternakan dan usaha terkait untuk sertifikasi kompartemen bebas AI.
“Pengalaman Indonesia tentang vaksinasi diapresiasi forum pertemuan internasional tersebut, sehingga melahirkan beberapa rekomendasi penting tentang pertimbangan vaksinasi pada negara-negara yang sebelumnya hanya mengandalkan strategi stamping-out untuk pemberantasan AI,” ungkap Hendra.
"Vaksinasi diyakini memberikan proteksi langsung bagi unggas dan bisnis perunggasan, tetapi juga memberikan keamanan terhadap potensi kerugian ekonomi dan risiko penularan pada manusia," imbuhnya.
Hendra mengungkapkan, komite sains dan peserta pada pertemuan tersebut memberikan apresiasi kepada Indonesia yang terus berusaha meningkatkan unit peternakan/produksi berbasis kompartemen bebas AI. Selain itu forum juga merekomendasikan agar vaksinasi AI di negara endemis harus memiliki program surveilans yang menjamin bahwa perkembangan dan dinamika virus AI terus dimonitor secara genetik dan antigenik, sehingga vaksin yang digunakan tetap update dengan virus-virus yang bersirkulasi.