EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto menilai pergerakan harga saham yang berafiliasi pada 2022 dipengaruhi oleh figur pemilik, bukan karena kinerja perusahaan.
"Pada 2022 kemarin saya kira tidak begitu banyak aksi korporasi di sektor riil yang dapat meningkatkan nilai fundamental perusahaan mereka," kata Agus dalam pernyataan di Jakarta, Senin (2/1/2023).
Menurut dia, kedekatan figur pebisnis yang erat dengan afiliasi politik tertentu ikut mempengaruhi pergerakan saham maupun sentimen pasar dalam memutuskan investasi di pasar modal pada 2022. Namun, kondisi serupa, tambah dia, berpotensi tidak terjadi pada 2023. Sebab 2023 sudah mendekati tahun politik dan investor akan mencari portfolio yang tidak berisiko dan lebih aman, meski minim imbal hasil.
Menurut Agus, pada 2023, risiko untuk jenis-jenis emiten yang berafiliasi politik akan lebih besar. "Investor mungkin akan jauh lebih berhati-hati dan akan lebih memilih saham-saham netral yang tidak berafiliasi politik dan pergerakan harga sahamnya murni dipengaruhi kinerja perusahaan," kata dia.
Meski demikian, ia memperkirakan, dalam jangka pendek, saham yang terafiliasi dengan pihak-pihak tertentu masih akan menjadi bidikan para trader. Para trader menganggap volatilitas harga saham tersebut akan tinggi dan bisa memberikan keuntungan besar.
"Untuk para trader jangka pendek, saham-saham yang terafiliasi politik lebih menarik karena volatilitas harga saham-saham tersebut akan tinggi dan mereka berpotensi mendapatkan keuntungan dari volatilitas harga tersebut," ungkap Agus.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyatakan kinerja pasar modal Indonesia pada 2022 merupakan yang terbaik dibandingkan negara-negara ASEAN dan Asia secara umum. Aktivitas perdagangan 2022 juga mengalami kenaikan signifikan yakni terlihat dari frekuensi transaksi harian yang mencapai 1,31 juta kali sehingga merupakan yang terbesar di ASEAN.
Kapitalisasi pasar juga tercatat tinggi yaitu mencapai angka Rp 9.500 triliun atau 600 miliar dolar AS. Itu artinya setara 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.