Kamis 02 Feb 2023 13:25 WIB

Halal Corner Soroti Titik Kritis Self Declare

Penetapan self declare halal dilakukan oleh Komite Fatwa Halal, bukan MUI.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Halal Center Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan pendampingan self declare untuk membantu proses verifikasi dan validasi pernyataan kehalalan pada komunitas UKM Komunitas UKM Berkaidah Amanah (KUBA) di Pasuruan.
Foto: dok. Humas UMM
Halal Center Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan pendampingan self declare untuk membantu proses verifikasi dan validasi pernyataan kehalalan pada komunitas UKM Komunitas UKM Berkaidah Amanah (KUBA) di Pasuruan.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia menargetkan menjadi produsen makanan dan minuman halal nomor 1 dunia pada 2024. Guna mendukung hal tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) memiliki target pencapaian 1 juta Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) melalui mekanisme pernyataan pelaku usaha atau self declare.

Founder Halal Corner, Aisha Maharani menilai sertifikasi halal gratis dengan mekanisme self declare sangat bagus jika diterapkan untuk produk yang masuk dalam positive list yakni yang terdiri dari bahan-bahan yang tidak kritis dari aspek kehalalan. Mekanisme self declare menjadi mengkhawatirkan saat adanya perluasan kategori.

Baca Juga

"Adanya perluasan kategori ini yang membuat kritis, karena ada bahan-bahan yang kritis juga. Seperti ke perluasan es krim dan bakery, disebutkan bakery di sini kue jajanan pasar, tapi bakery bukan hanya jajanan pasar kan ada kue dan lainnya," kata Aisha kepada Republika.co.id, Kamis (2/2/2023).

Diketahui, kategori self declare meliputi sejumlah kriteria khusus, di antaranya produk-produknya sederhana dan tidak berisiko serta proses produksinya menggunakan bahan yang memenuhi bahan-bahan yang dapat dipastikan kehalalannya. Kebijakan itu termaktub dalam Keputusan Kepala BPJPH No 33 Tahun 2022 tentang Juknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.

Titik kritis berikutnya, lanjut Aisha, adalah sumber daya manusia yang kurang mumpuni saat mendampingi proses produk halal atau PPH. Diketahui, PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

"Karena belum ada sistem pengawasan, belum ada kode etik untuk pendamping PPH, jadi banyak dari laporan adanya penyimpangan dari pendamping PPH. Ini jadi masalah juga," ucapnya.

Selain itu, jam terbang para pendamping PPH juga sangat diperlukan guna menganalisa kasus dan lainnya. Karena, permasalahan pendamping PPH ini bisa menjadi celah bila tidak ditindaklanjuti serius oleh pemerintah sebagai regulator aturan Sehati dan self declare.

"Jadi apakah mutu sertifikasi halalnya seperti apa ya. Karena kalau yang (mekanisme) reguler kan lebih detail lagi ya dari pandangan mata saya. Apakah mungkin traning tiga hari (untuk PPH) dengan tidak ada pengalaman, itu juga sangat riskan," tuturnya.

Aisha juga menyoroti penetapan kehalalan produk yang harus melewati Komite Fatwa BPJPH untuk penerbitan sertifikat halal. Diketahui, penetapan produk halal disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Dalam hal batas waktu penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau MPU Aceh terlampaui, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. Penetapan kehalalan produk oleh Komite Fatwa Produk Halal dilakukan paling lama dua hari kerja.

"Penetapan komite fatwa itu juga kita tidak tahu seperti apa ya orang-orangnya. Walaupun disebut ada ulama dan akademisi. Bagi saya, mubazir ya sudah ada MUI kenapa harus ditetapkan komite fatwa jadi ini ada dua komisi fatwa satu di bawah Kemenag, satu di bawah MUI," ujarnya.

Menurutnya, ini menjadi permasalahan baru, walaupun program Sehati menjanjikan percepatan. Ia menegaskan bahwa proses keluarnya fatwa tidak memakan waktu lama.

"Apakah MUI selama ini tak cukup cepat? Karena sebenarnya untuk fatwa sendiri kan satu hari selesai ya, yang lama itu bukan di fatwanya tapi di proses sertifikasinya kemudian putusan fatwa ke sertifikat halal," sambungnya.

Sebelumnya, Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan, dalam percepatan waktu pengajuan proses sertifikasi halal dengan mekanisme self declare terdapat masa pendampingan proses produk halal.

"Jika sebelumnya pendampingan belum diatur lamanya berapa hari, maka sekarang proses pendampingan harus diselesaikan dalam 10 hari," ujar Aqil, Ahad (29/1/2023).

Demikian juga dari pemberian ketetapan halal. Jika sebelumnya ini dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI, maka dengan Perppu ini disampaikan untuk proses self declare, penetapan halal dilakukan oleh Komite Fatwa Halal yang akan dibentuk dan bertanggung jawab kepada menteri.

Aqil menjelaskan, berbagai penyempurnaan ini, tercantum dalam Pasal 48 Perppu Cipta Kerja. Setidaknya ada 32 angka perubahan guna penyempurnaan UU No 33 tahun 2014 yang tercantum dalam Pasal 48 Perppu Cipta Kerja.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement