EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk melakukan perdagangan karbon. Berdasarkan hasil best practice di pasar karbon, karbon dibanderol dua hingga 18 dolar AS atau sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 270 ribu per ton CO2.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P Hutagulung menjelaskan dari hasil perdagangan karbon di pasar saat ini perdagangan karbon dilakukan secara B to B. Hanya saja, untuk kisaran harga antara 2-18 dollar AS per ton CO2. Pemerintah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk melakukan negosiasi mandiri untuk penetapan harga.
"Kalau sekarang kita tentukan dari harga pasar, ada pembangkit yang defisit dan ada pembangkit yang surplus jadi defisit ini membeli dari pembangkit yang surplus, harganya harga pasar di range 2-18 dollar," jelas Jisman saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (22/2/2023).
Jisman menjelaskan pemerintah membagi tiga fase dalam perdagangan ini. Fase pertama ada 99 pembangkit dengan kapasitas minimal 100 MW. Fase pertama ini, merupakan PLTU yang langsung masuk dalam grid PLN dengan total kapasitas 33 GW.
Jisman menjelaskan 99 PLTU ini saat ini sudah terverifikasi oleh ESDM terkait jumlah emisi karbon yang dikeluarkan pada tahun 2021 dan 2022 kemarin. Melalui verifikasi data tersebut, ada pembangkit yang memiliki surplus emisi dan ada yang defisit emisi. Sehingga transaksi bisa dilakukan.
"Kami ada datanya yang ditetapkan melalui Teknis Batas Atas Emisi. Jadi setiap tahun PLTU melaporkan produksi emisi karbonnya dan upaya apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi emisi karbon tersebut," ujar Jisman.
Selain melalui perdagangan B to B, pemerintah juga memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk melakukan perdagangan karbon melalui bursa karbon. Kementerian ESDM sudah bersepakat dengan Bursa Efek Indonesia untuk membuat bursa karbon ini.
"Kami sudah bekerja sama dengan Bursa untuk bersama membuat infrastruktur dan instrumennya sehingga perdagangan karbon melalui bursa ini bisa dijalankan. Jadi yang membeli karbon bisa dari luar negeri maupun dalam negeri," ujar Jisman.