EKBIS.CO, KEBUMEN -- Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, tambak budi daya udang berbasis kawasan (BUBK) di Kebumen memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan tambak udang tradisional. Menurut Trenggono, kelebihan itu antara lain terdapat dari penataan kolam budi daya.
"Itu tertata dengan baik dengan sistem dan alur yang benar. Jadi, airnya dimulai dari masuk, kemudian masuk ke ruang tandon, ruang penampungan awal, kemudian dialirkan ke kolam budi daya," ujar Trenggono saat ditemui di kawasan tambak BUBK Kebumen, Kamis (9/3/2023).
Kemudian, lanjut dia, bibit udang vaname yang akan ditebar juga dipastikan melewati pengecekan untuk memastikan benih sehat dan terbebas dari virus atau penyakit. "Kalau itu diyakini sudah bersih masuknya ke kolam tandon tadi sebelum masuk ke kolam budi daya," ujarnya.
Selain itu, bibit juga dites kembali sehingga tidak terjangkit penyakit. Kemudian, air limbah budi daya, lanjut dia, harus mengalir ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sehingga sebelum masuk ke laut dipastikan airnya bersih. Selanjutnya, kotoran dari air limbah ini, bakal ditampung untuk diproses menjadi pupuk dan beragam produk lain.
Sementara, dalam tambak udang tradisional, menurut Trenggono, tidak memikirkan pengecekan terhadap air, kesehatan bibit, serta pakan padahal udang sangat rawan penyakit atau virus.
"Kalau tradisional cenderung abai. Tidak ada checking pakan bahkan cenderung dikasih kadang tidak. Ini menyebabkan akhirnya produksi udangnya menjadi kuntet," ujarnya.
Hal itu, ujar Trenggono, menjadi salah satu penyebab produktivitas tambak hanya mencapai 0,6 ton per hektare. Untuk diketahui, tambak seluas 60 hektare tersebut kini memiliki produktivitas 40 ton per hektare per tahun dan masih akan ditingkatkan hingga mencapai 80 ton per hektare per tahun dengan menambah padat tebar benih.
Ini merupakan salah satu strategi KKP untuk meningkatkan produksi udang nasional yang ditargetkan pada 2024 mencapai dua juta ton.