EKBIS.CO, JAKARTA -- Southeast Asia Director of Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Faela Sufa mengungkapkan, pemerintah harus membuat peraturan secermat mungkin untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang timbul atas kebutuhan transportasi di masyarakat terkait dengan kebijakan pengembangan transisi kendaraan listrik. Penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi massal merupakan hal penting dengan tetap memperhatikan praktik keberlanjutan bagi lingkungan.
"Hendaknya pemerintah jangan hanya berfokus pada kepentingan kendaraan listrik pribadi, namun harus memperhatikan kepentingan infrastruktur publik yang harus ditingkatkan. Beberapa di antaranya adalah masalah minimnya permodalan pada infrastruktur publik dan pemberian insentif yang belum tepat sasaran," ungkap Faela dalam sebuah diskusi yang digelar beberapa waktu lalu.
Mobilitas penduduk di daerah Ibu Kota yang sangat tinggi pada masa kenormalan baru harus diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang mudah diakses. Menurutnya, saat ini adalah momen yang tepat jika komitmen pemerintah dalam penyediaan ekosistem elektrifikasi dapat menyasar pada transportasi massal. Contohnya, dengan memperbesar insentif untuk pembenahan dan perbaikan bagi kendaraan umum listrik dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan pengguna, keterjangkauan harga, serta inklusif.
Pengurangan emisi karbon dan kemacetan dapat teratasi dengan penataan kota yang terpadu yang memungkinkan perjalanan warga menjadi lebih pendek dan tidak bergantung pada kendaraan bermotor pribadi. Saat ini tantangan di lapangan untuk adopsi bus listrik masih ditemukan, di antaranya biaya investasi yang cukup tinggi, kebijakan publik yang berubah-ubah sehingga menciptakan resistensi dari pihak lembaga keuangan selaku pemilik modal.
"Jika penggunaan bus elektrik pada 2030 bisa dimaksimalkan hingga 90 persen di skala nasional, maka Indonesia berpotensi untuk mengurangi 40 persen residu gas rumah kaca (GRK). Maka dari itu, elektrifikasi pada bus harus diprioritaskan," katanya.