Sabtu 22 Apr 2023 17:38 WIB

Wisata Batik yang Luput dari Pemudik di Jalur Pantura

"Kami ingin batik itu bisa dipakai sampai go international,"

Red: Lida Puspaningtyas
Ratusan pelajar dan komunitas menjadi peserta Mask Painting Festival 2018 yang diselenggarakan BT Batik  Trusmi, Kabupaten Cirebon, Senin (1/10). Acara itu diadakan untuk menyambut Hari Batik Nasional.
Foto:

Pembatik lokal

Keseruan dari mengunjungi Kawasan Wisata Batik Trusmi lainnya adalah melihat dan berkenalan langsung dengan 17 orang pembatik serta tiga pengecap kain. Para pembatik itu mayoritas memang warga yang tinggal di Desa Trusmi, sebuah desa yang secara turun temurun menjadi pembatik.

Mereka bekerja di dalam sebuah ruangan luas yang menyebarkan diri menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, yakni para pengecap, menempati sudut ruangan depan di dekat rak kain katun, dobi, dan viscose.

Ketiga pengecap itu setidaknya sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun. Kata pengecap bernama Soleh, mereka bekerja dari hari Senin sampai Sabtu pada pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB.

Soleh mengatakan pengecap identik dengan cap berbagai pola, cetakan karet dan spidol. Kepada ANTARA ia memperlihatkan proses pembuatan kain batik cap, harus dimulai dengan menggambar garis terlebih dahulu.

Setelahnya, barulah pola cap yang sudah direndam ke dalam panci berisikan lilin mendidih berwarna hitam pekat ditempelkan pada kain, dengan maksud supaya corak lebih tersusun rapi dan menempel baik.

Di sudut ruangan lainnya ditempati oleh pembatik yang lihai mengukir macam-macam pola menggunakan canting. Pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan kepercayaan diri karena pola yang diukir pastilah tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya.

Barulah di tengah ruangan ditempati oleh pembatik cap. Erwati, seorang pembatik mengatakan dalam satu hari dirinya bisa membuat lima helai kain batik cap. Satu kain memakan waktu satu hingga satu setengah jam. Dengan durasi kerja mulai dari pukul 08.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Wanita itu bercerita sudah 30 tahun lamanya bekerja di Batik Trusmi, usai berhenti dari bangku sekolah dasar. Untungnya ia sudah mengantongi bakat membatik dari ibunya, sehingga pekerjaan itu tak sulit untuk dilakukan.

Pembatik bernama Linda ikut menambahkan per harinya ia sanggup mengerjakan lima sampai enam kain menggunakan cap. Meski baru merasakan bekerja selama setahun, kecintaannya pada batik sudah tumbuh sejak kecil.

Linda mengatakan setiap pulang sekolah, dibandingkan bermain, seperti anak-anak seusianya, ia memilih menemani sang ibu membatik sambil mempelajari pola demi pola.

Kecintaan pembatik lokal pada salah satu warisan budaya tak benda milik Indonesia yang diakui UNESCO itu, membuat Desa Trusmi masih lestari dan hidup berdampingan bersama kelompok masyarakat lainnya. Sambil mempelajari batik, tidak ada salahnya kalau pemudik mampir mengunjungi desa sambil mengucapdoa untuk para leluhur desa yang dimakamkan di sana.

Menelusuri budaya sendiri memang lebih mengasyikkan jika dipelajari sambil bermain bersama keluarga. Tidak ada salahnya selain bersilaturahim melepas rindu, kita mengagendakan sebuah aktivitas yang tak biasa dengan mengajak keluarga untuk mendalami pengetahuan kebangsaan bersama-sama karena budaya, selalu mempunyai cara untuk memperkuat dan menyatukan setiap perbedaan yang ada.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement