EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, dalam beberapa waktu terakhir pemerintah sedang membahas kemungkinan perpanjangan pengelolaan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Pemerintah, kata dia, melihat pendapatan perusahaan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik, ditambah lagi sebanyak 51 persen PTFI kini sudah dimiliki Indonesia.
“Bahkan dalam laporan Freeport kepada pemerintah. Pada 2024 itu potensi utang BUMN dalam mengambil alih Freeport kemungkinan akan lunas pada 2024,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (28/4/2023).
Ia menyebutkan, ada dua syarat yang ditawarkan terkait perpanjangan kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg, Papua. Syarat pertama, yaitu penambahan saham pemerintah sebanyak 10 persen menjadi 61 persen dan kedua, yakni pembangunan smelter di Papua.
“Pemerintah sedang memikirkan untuk melakukan perpanjangan. Hanya saja dengan penambahan saham, pemerintah akan menambah saham kurang lebih 10 persen,” kata Bahlil usai memaparkan realisasi investasi kuartal I 2023.
Perlu diketahui, sebagai bagian kesepakatan divestasi saham PTFI kepada Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (Persero) atau MIND ID pada 2018, PTFI telah mendapatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mengantongi perpanjangan masa operasi 2x10 tahun hingga 2041. Meski begitu, PTFI mengidentifikasi potensi sumber daya mineral di tambang Grasberg masih dapat dimonetisasi hingga lebih dari 2041.
Terkait syarat kedua yaitu pembangunan smelter di Papua, lanjutnya, sebagai putra Papua, menurutnya pembangunan smelter di Papua merupakan bentuk keadilan dan pemerataan ekonomi bagi warga setempat. Bahlil menjelaskan pertimbangan pemerintah untuk memberikan perpanjangan pengelolaan bagi Freeport salah satunya karena untuk menjaga agar produksi tambang tidak menurun.
Produksi konsentrat Freeport per tahun mencapai 3 juta ton. Sebanyak 1,3 juta ton diolah di smelter lama dan sisa 1,7 juta ton akan diolah di smelter baru mereka yang saat ini tengah dibangun di Gresik, Jawa Timur.
“Konsentrat ini akan habis di 2035, itu sudah mulai menurun produksinya karena cadangannya mulai habis. Cadangan sekarang yang mereka produksi itu hasil eksplorasi tahun 90an. Eksplorasinya itu butuh 10-15 tahun. Kalau tidak kita perpanjang sekarang, maka di 2035 itu dapat dipastikan sampai 2040 Freeport tutup,” jelas dia.
Jika Freeport tutup, tegas Bahlil, Indonesia bisa rugi. Itu karena kini 51 persen sahamnya milik pemerintah.
Bahlil pun menuturkan, dengan nilai valuasi Freeport saat ini yang telah mencapai 20 miliar dolar AS, maka Indonesia sudah mengantongi untung sekitar 10 miliar dolar AS atau Rp150 triliun dengan kepemilikan saham 51 persen. “Masa kita aset begini mau kita matikan?” katanya.
Bahlil juga memastikan perpanjangan pengelolaan Freeport akan menguntungkan bagi Indonesia karena saat ini 98 persen karyawannya merupakan anak bangsa.
“Jadi bukan kita berikan perpanjangan kepada orang lain tapi perpanjang diri kita sendiri karena ini punya kita kok bukan punya orang lain,” tegasnya. Mengenai rencana dan syarat itu, Bahlil mengaku sudah mulai membicarakannya dengan pihak Freeport.
Ia menegaskan, Freeport harus bersedia menerima tawaran tersebut. “Freeport harus mau, bagaimana caranya harus mau, kalau Freeport nggak mau nambah, berarti saya siap dievaluasi jadi menteri,” ujarnya.