Jumat 05 May 2023 23:50 WIB

Industri Hulu Migas Dinilai Mampu Topang Kebutuhan Energi dan Petrokimia

Industri hulu migas merupakan sumber utama bahan baku produksi petrokimia

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Industri hulu migas memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional karena amanat pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mendorong pertumbuhan industri lain di sekitarnya, termasuk industri petrokimia. Industri hulu migas memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam industri petrokimia.
Foto: Dok PHE
Industri hulu migas memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional karena amanat pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mendorong pertumbuhan industri lain di sekitarnya, termasuk industri petrokimia. Industri hulu migas memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam industri petrokimia.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Industri hulu migas memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional karena amanat pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mendorong pertumbuhan industri lain di sekitarnya, termasuk industri petrokimia.  

Hal ini karena industri hulu migas merupakan sumber utama bahan baku produksi petrokimia. Dimana Bahan baku utama dalam produksi petrokimia adalah minyak bumi dan gas alam yang ditemukan di ladang-ladang minyak dan gas. 

Industri hulu migas berperan untuk mengekstraksi minyak bumi dan gas alam dari bawah permukaan bumi dan mengolahnya menjadi produk yang siap digunakan. Setelah bahan baku diekstraksi dan diproses oleh industri hulu migas, bahan baku itu kemudian diolah menjadi berbagai macam produk petrokimia seperti bahan plastik, serat sintetis, bahan kimia, pupuk, kosmetik, dan berbagai bahan kimia lainnya.

Maka demikian, nilai strategis industri hulu migas sangatlah penting dalam industri petrokimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan dan harga bahan baku serta kemampuan industri petrokimia untuk memenuhi permintaan pasar.

 Presiden Joko Widodo sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional 2020-2024, yang mengatur mengenai sasaran pembangunan industri migas. Melalui Perpres itu, pemerintah menargetkan untuk melakukan peningkatan pemanfaatan, penyediaan, dan penyaluran kimia berbasis migas dan batu bara. Sebeb, Nafta atau Naphtha, sebagai bahan baku utama industri petrokimia masih sepenuhnya diimpor sebesar 2,5 juta ton tiap tahunnya.

 

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akan melakukan pembangunan refinery Nafta dan kondensat untuk bahan baku pengolahan olefin aromatik dan poliolefin, yang merupakan senyawa organik yang terdiri dari satu atau lebih unit monomer olefin dan memiliki sifat elastis, tahan terhadap bahan kimia, ringan, dan lazim digunakan dalam produk industri maupun barang konsumen.

 

Pembangunan refinery Nafta tersebut nantinya akan memiliki kapasitas masing-masing 300 ribu barel per hari untuk mengimbangi peningkatan produksi olefin dihasilkan dari proses pemisahan minyak bumi atau produksi gas alam, serta sintesis kimia dan dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi polyolefin dalam negeri.

Ketua Umum Federasi industri kimia Indonesia Suhat Miyarso mengatakan industri petrokimia, yang masuk kategori industri hijau, memegang peranan penting untuk perkembangan industri dalam negeri, karena berbagai produk petrokimia diperlukan produk-produk sektor hilir, dari furniture rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, perlatan medis, perlengkapan pertanian, hingga alat perikanan.

Kementerian Perindustrian juga terus mendorong penghiliran di industri petrokimia. Adapun upaya ini dinilai strategis karena dapat menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.

Pada Oktober 2022, kinerja ekspor dari industri kimia menunjukkan capaian yang gemilang sebesar 18,5 miliar dolar AS atau naik 20 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkan pada 2023 ditargetkan 25 miliar dolar AS.

Adapun kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022) dan impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu sebanyak 4,6 juta ton pada 2020.

Pertamina sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi delapan juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. Pemerintah sendiri menargetkan Indonesia dapat menjadi negara produsen petrokimia nomor satu di Asean.

Kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia. Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat mempengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun sempat menyinggung peran penting industri hilir migas di sela-sela sebuah forum internasional pada 2021. Airlangga menilai sektor itu menjadi bagian dalam peningkatan multiplier effect bagi industri hilir seperti pupuk dan petrokimia.

“Kementerian ESDM sudah memberikan dukungan harga gas pada industri tertentu agar kompetitif sehingga banyak sektor hilir yang mampu bersaing dan mengekspor produknya. Kebijakan tersebut perlu diapresiasi dan diharapkan hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang sehingga tidak hanya berkontribusi pada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro," ujar Airlangga dalam The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021” (IOG 2021), di Bali Nusa Dua, Selasa (30/11/2021).

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun turut mendukung upaya pemerintah memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Adapun langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi.

Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mencontohkan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat.

Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari 5 dolar AS per MMBTU menjadi 4 dolar AS per MMBTU, sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.

Klaster industri petrokimia memang menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam program industri 4.0. Adapun sektor itu turut menjadi fondasi industri nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement