EKBIS.CO, JAKARTA -- Perbankan Indonesia dinilai masih relatif terlindungi dari dampak gagalnya perbankan AS. Pejabat Eksekutif Treasury dan International Banking Bank Mandiri Eka Fitria mengatakan, hal tersebut dimungkinkan karena eksposur yang relatif sangat terbatas.
Dilihat dari berbagai indikator, Eka menegaskan, perbankan Indonesia masih cukup resilien menghadapi gejolak global. Kualitas aset juga masih terjaga dengan rasio Non Performing Loan (NPL) yang cenderung terus menurun.
"Selain itu, permodalan perbankan juga masih sangat kuat dengan rasio kecukupan modal berada pada 26 persen, jauh di atas ketentuan," terang Eka, Selasa (9/5/2023).
Pertumbuhan kredit perbankan masih sehat meski tumbuh melambat. Hingga Maret 2023, pertumbuhan kredit mencapai 9,9 persen, lebih rendah dibandingkan posisi akhir tahun 2022 yang mencapai 11,4 persen.
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) cenderung melambat mencapai tujuh persen. Namun dari sisi likuiditas secara umum masih memadai, tecermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang masih berada pada kisaran 80 persen.
Kinerja perbankan yang membaik tersebut juga tercermin pada kinerja Bank Mandiri. Di awal 2023, Bank Mandiri membukukan kinerja yang sangat baik dengan mencatat laba bersih secara konsolidasi sebesar Rp 12,6 triliun atau tumbuh 25,2 persen yoy.
Kredit konsolidasi tercatat sebesar Rp 1.205 triliun, atau tumbuh sebesar 12,4 persen yoy. Total DPK tumbuh sebesar 9,62 persen yoy mencapai Rp 1.391 triliun dengan rasio dana murah atau CASA bank only mencapai 79,2 persen.
Meski sektor finansial AS saat ini masih mengindikasikan permasalahan. Eka meyakini situasi kali ini jauh berbeda dibandingkan 2008 yang lalu. Menurut Eka, Indonesia jauh lebih resilien dengan tingkat ketergantungan terhadap volatilitas lebih rendah.
Saat ini, tingkat kepemilikan asing di pasar obligasi sebesar 14,9 persen dan defisit neraca transaksi berjalan akan sangat kecil yakni di bawah 0,5 persen dari PDB. Selain itu, eksposur utang jangka pendek dalam valas hanya sekitar 17 persen atau jauh di bawah mayoritas negara lain yang di atas 30 persen.
"Jadi, dengan kondisi tersebut, sangat tidak layak jika kita terus pesimistis dengan outlook perekonomian kita. Waspada tetap sangat perlu, namun optimisme bahwa kita mampu melewati volatilitas global tetap perlu dijadikan dasar dalam setiap pengambilan keputusan bisnis tahun ini," ujar Eka.