EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial. Indonesia, kata dia, bisa belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara termasuk Swedia.
“Jadi penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon,” tutur Bhima dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Ia menuturkan, meski regulasi bursa karbon berburu dengan waktu, namun kualitas dari regulasi tetap perlu dijaga. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, peraturan terkait bursa karbon akan diselesaikan pada Juni, lalu mulai beroperasi pada September tahun ini.
Menurut Bhima, waktu yang ada hingga aturan teknis terbit pada Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon. Dengan begitu, bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
"Ini mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia," jelasnya.
Ia menambahkan, terbukanya penyelenggara bursa karbon di luar entitas Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal memicu inovasi dan pengembangan layanan seperti yang telah terjadi di berbagai negara yang akan memperdalam bursa karbon. Bhima menilai, sosialisasi terhadap pelaku bursa karbon perlu segera didorong.
Termasuk berbagai perusahaan yang berkontribusi terhadap emisi karbon, perlu terlibat aktif dalam perdagangan karbon, sesuai tujuan awal bursa karbon untuk menekan emisi karbon.
Bursa karbon merupakan sistem yang mengatur perdagangan dan mencatat kepemilikan unit karbon berdasarkan mekanisme pasar. Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Pembentukan bursa karbon dianggap perlu karena sejalan dengan target pemerintah Indonesia yang menetapkan target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030. Lalu Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi pada 2060.