EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Indonesia akan terus meningkatkan upaya untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan inklusif dengan memberantas kemiskinan ekstrem dan mengurangi gizi buruk (stunting).
"Melalui percepatan reformasi struktural, kami juga fokus mengatasi berbagai kesenjangan, termasuk dalam hal sumber daya manusia, infrastruktur, dan peranan kementerian/lembaga," ujar Sri Mulyani dalam acara Dialog Bersama Negara Mitra G7, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu (13/5/2023).
Pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang menuntut partisipasi semua pihak agar turut andil dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian ketika perekonomian tumbuh, maka kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran akan menurun.
Seluruh upaya tersebut berkaitan dengan kesejahteraan yang sangat penting karena merupakan bagian dari cita-cita Indonesia, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkannya, Sri Mulyani menuturkan Indonesia telah melakukan banyak hal.
Salah satu langkah yang dilakukan yakni dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk perlindungan sosial, termasuk di masa pandemi COVID-19, sehingga Indonesia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan relatif cepat dari 10,2 persen selama pandemi menjadi 9,6 persen pada 2022.
Langkah lain yang dilakukan yakni masih adanya alokasi wajib sebesar 20 persen dan 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan dan kesehatan. Pemerintah juga telah menerapkan penganggaran responsif berbasis gender, penganggaran inklusif untuk disabilitas, serta pendanaan belanja pemerintah yang ramah lingkungan.
"Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk menciptakan pertumbuhan dan pembangunan yang seimbang, inklusif, dan berkelanjutan," tegas Menkeu.
Acara Dialog Bersama Negara Mitra G7 merupakan salah satu rangkaian agenda Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara-Negara G7, yang membahas upaya bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kegiatan itu, Menkeu Sri Mulyani menjadi salah satu penanggap hasil penelitian Ekonom sekaligus Profesor di Universitas Columbia, Amerika Serikat Joseph Stiglitz yang mengemukakan mengenai ukuran kesejahteraan tidak hanya diukur dari dimensi pendapatan konvensional (ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, dan lainnya). Tetapi, juga dari dimensi non pendapatan seperti lingkungan, kesehatan, kesehatan mental, pendidikan, modal sosial, dan sebagainya.