EKBIS.CO, JAKARTA — Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia secara tegas menentang desakan International Monetary Fund (IMF) yang meminta Indonesia untuk tidak melanjutkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam di dalam negeri dengan menyetop ekspor komoditas. Ia menilai, rekomendasi yang diberikan IMF kepada Indonesia salah arah karena tidak sesuai dengan kondisi riil.
"Langit mau runtuh pun hilirisasi tetap akan jadi prioritas kita. Larangan ekspor tetap kita lakukan. Kalau mau (mengadu) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), WTO saja. Masa orang lain boleh kita tidak boleh, yang benar saja? Negara ini sudah merdeka!," ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Menurut Bahlil, laporan IMF terhadap Indonesia merupakan standar ganda. Sebab, dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, IMF mengapresiasi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus inflasi yang terkendali. Indonesia juga diapresiasi karena berhasil mencatatkan surplus perdagangan hingga saat ini.
Lebih lanjut, kata Bahlil, IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan nilai tambah serta penciptaan lapangan kerja. Namun di sisi lain, meminta Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.
"Saran saya, dia (IMF) mendiagnosis saja negara-negara yang hari ini lagi susah. Tidak usah turut campur urus Indonesia!," kata Bahlil dalam pernyataannya.
Bahlil menghargai pandangan IMF. Namun, ia menegaskan pemerintah tidak akan terpengaruh dan tetap konsisten terhadap kebijakan larangan ekspor komoditas. Seperti diketahui, pemerintah telah melarang ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 lalu.
Yang terbaru, pemerintah resmi melarang ekspor bauksit mulai Juni 2023 serta konsentrat tembaga yang ditargetkan Mei 2024 seiring penyelesaian smelter Freeport dan Amman Mineral.
Bahlil menegaskan, Indonesia memiliki tujuan untuk menjadi negara maju. Ia pun menyebut, negara-negara maju saat ini dahulu menerapkan kebijakan yang sama, seperti Inggris yang menyetop ekspor benang wol bahan baku tekstil pada abad 16 lalu dan menjadi seperti sekarang.
Begitu pula Amerika Serikat yang gunakan tarif impor 40 persen 1930 lalu untuk membangun industri dalam negeri. Lalu China menerapkan kebijakan komponen dalam negeri 80 persen untuk mendukung produk dalam negeri.
"Apakah Indonesia tidak boleh mengikuti jejak mereka? Apa kita harus ikuti gaya IMF yang menurut saya tidak pantas kita dengar sebagian. Saran saya, IMF kasihlah rekomendasi kepada negara yang gagal," kata Bahlil.