EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed akan memutuskan tingkat suku bunga periode Juli 2023. Pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen-5,50 persen pada pertemuan pekan depan.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, dampak dari kenaikan suku bunga acuan The Fed ini akan minim karena sudah masuk dalam perhitungan pelaku pasar. "Kenaikan Fed rate sudah dalam ekspektasi pasar," kata David kepada Republika.co.id, Ahad (23/7/2023).
Ekspektasi pasar telah tecermin dari pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah beberapa minggu terakhir meski tren inflasi domestik menurun. Seperti diketahui, rupiah cenderung bergerak lesu sepekan terakhir dengan pelemahan mencapai 0,45 persen.
David memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan menahan suku bunga acuannya di level 5,75 persen. BI melihat masih ada ketidakpastian terkait suku bunga AS walaupun inflasi dalam tren turun. Setelah Juli, suku bunga The Fed kemungkinan masih akan naik pada September mendatang.
Di sisi lain, David melihat, dana investor asing masih akan mengalir masuk ke dalam negeri. "Inflasi masih akan turun drastis ke arah dua persen, sementara Fed rate diprediksi hanya akan naik 25-50 basis poin lagi. Jadi asing dalam jangka menengah masih ada insentif untuk masuk," jelas David.
Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih, mengatakan pertimbangan BI masih perlu menahan suku bunga adalah Bank Sentral beberapa negara, khususnya The Fed masih belum benar-benar memberikan sinyal dovish. Hal tersebut dilakukan BI salah satunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan iklim investasi aset keuangan domestik.
Menurut Ratih pelaku pasar seharusnya telah merespon kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. "Sebab dalam beberapa pertemuan terakhir, The Fed masih menginginkan kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi kembali pada targetnya di level dua persen," kata Ratih.
Angka inflasi tahunan di tingkat konsumen Amerika Serikat (AS) pada Juni 2023 di level tiga persen dari level tertinggi pada Juni 2022 sebesar 9,1 persen. Di sisi lain, Ratih melihat keputusan The Fed menaikkan suku bunga akan berpotensi memberikan katalis negatif bagi komoditas minyak mentah dalam jangka pendek.