EKBIS.CO, JAKARTA -- Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova menyatakan pergerakan Rupiah yang stagnan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi sikap menunggu pasar menjelang pengumuman hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada Kamis (27/7/2023).
"Sementara itu, capital inflow di pasar obligasi pemerintah Indonesia masih banyak diminati investor asing," ujar dia ketika ditanya Antara, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Selama seminggu terakhir, rata-rata harian net beli investor asing terhadap obligasi Indonesia berkisar Rp 6 triliun.Pada penutupan perdagangan hari, rupiah mengalami stagnasi 0 persen atau 0 poin menjadi Rp15.027 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.027 per dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak dari Rp 15.018 per dolar AS hingga Rp15.035 per dolar AS.
Senada, Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menyampaikan bahwa investor cenderung wait and see pertemuan FOMC pada Kamis (27/7/2023) dan rapat gubernur Bank Indonesia minggu ini. Rupiah dinilai masih tertekan oleh penguatan dolar AS, di samping itu juga didukung oleh harapan lebih banyak stimulus dari pemerintah China minggu ini.
Dia memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga, tetapi yang ditunggu adalah pernyataan yang menyertai, apakah hawkish atau dovish. "Stimulus China sangat diharapkan karena akhir-akhir terlihat mata uang Asia cukup tertekan oleh perlambatan ekonomi China dan regional," ungkap Lukman.
Begitu pula dengan pandangan Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra yang mengatakan rupiah berpotensi melemah terhadap dolar AS karena pasar mengantisipasi hasil rapat kebijakan moneter The Fed pada Kamis (27/7).
"Menurut survei CME Fed Watch Tool, probabilitas hampir 100 persen The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25-5,50 persen," katanya.
Lebih lanjut, pasar menunggu (wait and see) dan tidak berani berspekulasi terlalu besar menjelang hasil rapat The Fed.
"Tingkat inflasi AS memang melandai, tapi belum menyentuh target 2 persen, apalagi beberapa data ekonomi AS seperti data tenaga kerja, masih mengindikasikan daya beli masyarakat AS masih tinggi sehingga bisa menaikkan inflasi lagi," ungkap Aris.