EKBIS.CO, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, hal tersebut dipengaruhi perekonomian yang lebih kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat.
“Hal ini diperkirakan akan mendorong kenaikan lebih lanjut suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR),” kata Perry dalam konferensi pers, Selasa (25/7/2023).
Perry mengungkapkan berdasarkan asesmen yang dilakukan BI, The Fed pada Juli 2023 masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga 25 basis poin (bps). Tak hanya itu, Perry menuturkan potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed juga masih akan berlangsung pada September 2023 sebanyak 25 bps lagi.
“Sehingga FFR akan menjadi 5,75 persen pada September 2023,” ucap Perry.
Setelah itu, Perry memperkirakan The Fed tidak akan seagresif sebelumnya dalam menaikkan suku bunga acuan. Setidaknya, kata dia, naik turunnya FFR setelah Juli dan September 2023 mulai berkurang.
BI mengungkapkan, perkembangan ekonomi global dapat mendorong aliran modal ke negara berkembang lebih selektif. Selain itu juga meningkatkan tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan global.
“Oleh karena itu, kita strateginya suku bunga akan diputuskan berdasarkan perkiraan inflasi dan pertumbuhan dalam negeri,” tutur Perry.
Untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan The Fed, Perry menyebut BI akan berupaya dalam stabilisasi nilai tukar rupiah melalu intervensi pasar valas. Perry menegaskan, cadangan devisa Indonesia juga lebih dari cukup.
“Alhamdulillah nilai tukar kita stabil bahkan year to date menguat dibandingkan peso maupun negara lain dan lebih dari itu mendukung terkendalinya inflasi,” ungkap Perry.
BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan tetap sebesar 2,7 persen namun disertai dengan pergeseran sumber pertumbuhan. Perry mengungkapkan, pertumbuhan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara maju di Eropa diperkirakan lebih baik karena dipengaruhi konsumsi rumah tangga seiring dengan perbaikan upah dan keyakinan konsumen.
Pertumbuhan ekonomi Jepang juga diperkirakan masih kuat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor yang membaik. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China lebih rendah sejalan dengan tertahannya konsumsi dan investasi terutama sektor properti.