EKBIS.CO, WINA -- Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada Kamis (14/9/2023) mengecam prediksi terbaru Badan Energi Internasional (IEA) mengenai puncak permintaan bahan bakar fosil pada 2030. OPEC mengatakan perkiraan itu tidak berbasis fakta dan dapat mengancam keamanan energi dengan menghambat investasi pada proyek-proyek minyak dan gas.
Direktur eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan dalam sebuah opini di Financial Times pada Selasa (12/9/2023) bahwa permintaan terhadap tiga bahan bakar fosil – minyak, gas dan batu bara – akan mencapai puncaknya pada akhir dekade ini. Perkiraan badan tersebut didasarkan pada "pengaturan kebijakan pemerintah di seluruh dunia saat ini," termasuk perluasan energi terbarukan dan peningkatan penggunaan kendaraan listrik, tulis Birol.
Namun, OPEC mengatakan dalam pernyataan tegas pada Kamis (14/9/2023) bahwa "perkiraan yang konsisten dan berdasarkan data" tidak mendukung prediksi IEA, dan menuduh badan tersebut "didorong oleh ideologi, bukan berdasarkan fakta".
"Adalah narasi yang sangat berisiko dan tidak praktis untuk mengabaikan bahan bakar fosil, atau menyatakan bahwa bahan bakar fosil sedang berada di awal masa akhir. Yang membuat prediksi seperti itu sangat berbahaya, adalah bahwa prediksi tersebut sering kali disertai dengan seruan untuk berhenti berinvestasi pada proyek minyak dan gas baru," kata OPEC.
"Narasi seperti itu hanya akan menyebabkan kegagalan sistem energi global secara spektakuler. Hal ini akan menyebabkan kekacauan energi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi perekonomian dan miliaran orang di seluruh dunia," kata Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais dalam pernyataannya.
Menurut OPEC, prediksi IEA juga belum mempertimbangkan "kemajuan teknologi yang terus dicapai oleh industri (bahan bakar fosil) dalam memberikan solusi untuk membantu mengurangi emisi." Mereka juga tidak mengakui peran penting bahan bakar fosil, yang "terus menyumbang lebih dari 80 persen bauran energi global, sama seperti 30 tahun yang lalu".
Kelompok produsen minyak tersebut mengatakan akan bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk mendorong dialog guna berkontribusi terhadap stabilitas energi global.
Ini bukan pertikaian pertama antara OPEC, yang terdiri dari 13 negara pengekspor minyak utama, dan IEA, yang sebagian besar anggotanya mencakup negara-negara konsumen minyak seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa. IEA, bersama dengan AS, Inggris, dan negara-negara konsumen minyak lainnya, sebelumnya mengkritik pengurangan produksi yang dilakukan OPEC dan sekutunya, sebuah kelompok yang dikenal sebagai "OPEC+". IEA menuduh OPEC+ memperburuk krisis energi dan meningkatkan inflasi. OPEC bersikeras bahwa pengurangan produksi dilakukan untuk menstabilkan pasar minyak.