EKBIS.CO, JAKARTA -- Literasi keuangan dan asuransi di Indonesia kini masih perlu digencarkan. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan Bayu Teja Muliawan memaparkan saat ini tantangan literasi asuransi masih tinggi di Indonesia karena baru 31 persen masyarakat Indonesia yang menurut OJK paham asuransi.
Bayu menuturkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga menghadapi tantangan tersebut. "Ini berupa banyaknya peserta nonaktif karena tidak membayar premi dengan rutin dan hanya mengakses BPJS Kesehatan saat dibutuhkan saja," kata Bayu, Jumat (7/10/2023).
Bayu menjelaskan, asuransi tambahan seperti asuransi kesehatan swasta masih memungkinkan untuk dimiliki masyarakat. Dia menilai, perlu adanya asuransi bundling plus JKN yang menerapkan konsep manage care dan rujukan berjenjang tetap dilaksanakan dengan memperhatikan kendali mutu dan biaya.
Padahal, Bayu menekankan asuransi kesehatan memungkinkan masyarakat terhindar dari risiko pembiayaan katastropik atas penyakit atau kejadian tidak terduga. Hal tersebut dapat meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan kesehatan.
“Asuransi kesehatan memberikan manfaat yang mendorong permintaan layanan kesehatan, yang pada gilirannya mendukung industri layanan kesehatan dan berkontribusi pada ekonomi secara keseluruhan,” ujar Bayu.
Bayu menjelaskan, terdapat rincian layanan kesehatan yang sering diakses masyarakat mulai dari rawat jalan, rawat inap, hingga biaya administrasi. Data belanja kesehatan dan skema asuransi kesehatan pada2021 berdasarkan National Health Account Indonesia menunjukkan dominasi provider rumah sakit dengan belanja sekitar Rp 18,5 triliun, diikuti oleh fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama seperti klinik dan puskesmas sebesar Rp 1,4 triliun, provider administasi, dan preventif sebesar Rp 3,7 triliun.
"Belanja terbanyak fokus pada layanan rawat sebesar Rp 9,5 triliun, rawat jalan sebesar Rp 6 triliun, dan administrasi kesehatan dalam layanan preventif sebesar Rp 3,9 triliun," jelas Bayu.