EKBIS.CO, JAKARTA — Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Namun, dalam peringatan tahun ini, peringatan HPS kembali dibayang-bayangi oleh ancaman krisis pangan.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) mengungkapkan dalam Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) mengungkapkan pada tahun 2023 angka kelaparan penduduk dunia mencapai 691 hingga 783 juta jiwa.
Dengan kata lain, sekitar 9,2 persen penduduk dunia mencapai kelapara, dan angka ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 7,9 persen.
“Dengan data terakhir ini PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger,” kata Henry dalam keterangan resminya, Senin (16/10/2023).
Sementara itu, angka kelaparan ditingkat nasional juga turut mengkhawatirkan. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), angka kelaparan Indonesia masih tergolong tinggi dibanding negara-negara tetangga. FAO sendiri mendefinisikan kelaparan sebagai kondisi seseorang yang asupan makanannya tidak memenuhi standar energi untuk hidup normal, aktif, dan sehat.
FAO kemudian mengukur angka kelaparan berdasarkan prevalence of undernourishment, yakni data prevalensi kurang gizi atau ketidakcukupan konsumsi pangan dari setiap negara. Angka kelaparan yang tercatat dalam basis data FAO merupakan rata-rata per tiga tahun terakhir (3-years average). Artinya, data 2022 merupakan rata-rata dari angka kelaparan periode 2020-2022.
Hasilnya, pada 2022 Indonesia tercatat memiliki angka 5,9 persen atau dengan kata lain sekitar 5,9 persen dari total populasi Indonesia (sekitar 16,2 juta orang) diperkirakan mengalami kelaparan.
Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di kelompok negara ASEAN, setelah Timor Leste. Posisi ini lebih buruk dibanding Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Malaysia. Adapun jika dilihat dari segi jumlah penduduk, angka kelaparan Indonesia menempati peringkat puncak di ASEAN. Sebanyak 16,2 juta orang kelaparan di Indonesia, kemudian diikuti Filipina 5,9 juta orang, dan Vietnam 4,9 juta orang.
Henry Saragih mengatakan penyebab utama ancaman krisis pangan berkaitan dengan orientasi tata kelola pangan yang masih mengacu pada ‘Ketahanan Pangan’ bukan ‘Kedaulatan Pangan’.
“Kedaulatan Pangan didefinisikan sebagai hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional,” ujarnya.
Ia menambahkan, ancaman krisis pangan telah menjalar ke seluruh belahan dunia, yang ditandai dengan lonjakan harga pangan seperti beras, kedelai, dan jagung.
Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian/Food and Agriculture (FAO) tahun 2022, kenaikan harga pangan, pupuk, dan energi mendorong ancaman krisis pangan semakin nyata. Kondisi ini turut disertai iklim yang membuat negara produsen pangan menahan diri melakukan ekspor.
Menurutnya, harga pangan yang melambung juga disebabkan kelangkaan dan kenaikan harga pupuk Kimia.
Henry menyebut, akibat dari sistem pangan yang seperti itu menimbulkan konflik agraria, kemiskinan, kelaparan, stunting, obesitas, perubahan iklim, dan kerusakan alam.