EKBIS.CO, MEDAN -- Pembudayaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan sebuah usaha jangka panjang yang membutuhkan komitmen dari seluruh lapisan dalam organisasi. Upaya yang dilakukan juga harus dilakukan secara berkelanjutan, sehingga organisasi dapat mencapai budaya keselamatan yang kuat dan mampu mengurangi serta menghilangkan risiko kecelakaan di tempat kerja.
PT Pelindo Multi Terminal (SPMT) sebagai salah satu Subholding PT Pelindo, yang dalam bisnisnya bergerak dalam bisnis kepelabuhanan di bidang operasi terminal multipurpose di Indonesia, seperti curah cair, curah kering, kargo umum, sehingga dalam aktifitasnya memiliki tingkat risiko dan bahaya yang cukup tinggi.
Hal ini mendorong manajemen SPMT membuat serangkaian program untuk mewujudkan pembudayaan K3 di lingkungan wilayah kerja operasionalnya melalui gelaran pelatihan online bertajuk 'Safety Champion Training (WSO Safety Passport)', yang berlangsung secara virtual pada 26 --- 27 Oktober 2023.
Setidaknya SPMT telah menunjuk sebanyak 50 Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (AK3) untuk menjadi agen perubahan (change agent K3) sebagai wujud pembudayaan K3 di tempat kerja.
Meskipun para change agent K3 telah memiliki kompetensi yang memadai di bidang K3, manajemen juga terus melakukan peningkatan kompetensi di bidang K3, salah satunya dengan mengikutsertakan program pembekalan dan pelatihan safety champion.
Program pembekalan yang diberikan kepada change agent K3 ini bekerja sama dengan World Safety Organization (WSO) Indonesia yang selanjutnya mengeluarkan safety pasport yang disebut WISPASS (WSO Indonesia Safety Pasport) kepada peserta yang telah mengikuti pelatihan dan pembekalan safety champion.
Chairman WSO Indonesia Soehatman Ramli turut mengapresiasi langkah yang telah dilakukan oleh manajemen SPMT dengan menunjuk Ahli K3 perusahaan sebagai change agent K3 untuk mewujudkan pembudayaan K3 di tempat kerja. "Budaya keselamatan merupakan pondasi menciptakan tempat kerja yang aman dan selamat. Membangun budaya keselamatan perlu waktu, proses berkelanjutan, keterlibatan semua unsur dan konsistensi. Untuk itu perlu dukungan para pekerja sebagai agent of change yang akan menjadi katalisator membentuk budaya keselamatan yang nantinya berperan sebagai roles model bagi rekan-rekan kerja lainnya," jelas Soehatman.
Lebih lanjut Soehatman mengatakan, melalui coaching dari WSO Indonesia, para kader budaya keselamatan di PT Pelindo Multi Terminal telah dibekali pengetahuan dasar tentang safety culture dan strategi perubahan perilaku sebagai seorang Safety Champion.
Dia menuturkan, setidaknya termuat aspek-aspek penting penerapan K3 di lingkungan kerja yang dikemas berdasarkan 3 pilar utama, yaitu aspek keteknikan, sistem, dan manusia.
Soehatman menjelaskan, pilar pertama, dalam aspek keteknikan menyoroti unit terminal yang memiliki berbagai sarana dan instalasi seperti alat berat, alat angkut dan berpeluang memiliki poensi bahaya seperti kecelakaan dan gangguan operasi. Sedangkan pilar kedua yang menyangkut sistem manajemen K3, prosedur kerja standar, dan lainnya untuk memastikan bahwa kegiatan operasional berjalan sesuai dengan syarat-syarat K3 yang berlaku.
Sementara pilar ketiga yang muatannya erat dengan aspek manusia menjadi pilar yang paling penting karena akan menjadi change agent dan change champion, dan bukan hanya sebagai role model dalam membangun budaya K3 tapi juga mewujudkan safety culture perusahaan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur SDM PT Pelindo Multi Terminal Edi Priyanto mengungkapkan, mewujudkan budaya K3 di tempat kerja bukanlah pekerjaan yang mudah, itu sebab dibutuhkan agen perubahan (change agent K3) sebagai wakil dan perpanjangan tangan manajemen mewujudkan budaya K3 di tempat kerja.
Dalam hematnya, Edi menekankan bahwa agen perubahan menjadi orang yang menghubungkan antara sumber perubahaan, terkait inovasi maupun kebijakan organisasi yang memiliki target perubahan.
“Para pekerja yang telah memiliki sertifikasi AK3 di perusahaan tidak hanya mendapatkan pemahaman dan sertifikat K3 saja, namun mereka juga harus berperan dalam mengedukasikan, menyosialisasikan, menyebarluaskan, bahkan menjadi agen perubahan (agent of change) di tempat kerja agar semua orang di tempat kerja mampu menerapkan K3 dengan baik,” ujar Edi.
Dijelaskan Edi, agen perubahan K3 memiliki peran kunci dalam membantu organisasi mengubah perilaku dan sikap pekerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). "Dengan adanya agen perubahan (change agent K3), organisasi dapat mencapai perubahan budaya yang lebih aman dan kesadaran yang lebih tinggi terkait keselamatan, yang pada akhirnya dapat mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja," paparnya secara rinci.
Edi juga menambahkan, keinginan untuk berubah, serta mengajak orang lain harus berasal dari keyakinan yang bersifat internal. Lebih luas ia menjelaskan, setiap perubahan secara teknis membutuhkan sejumlah individu untuk menjadi role model yang berperan sebagai pemandu proses berjalannya perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, sehingga tujuan yang diharapkan pun tercapai.
Para agen perubahan K3 harus mampu mengedukasi praktik keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang benar, mencakup pemahaman tentang potensi bahaya, prosedur keselamatan, dan pentingnya mengidentifikasi serta melaporkan risiko. Dan bukan itu saja, agen perubahan K3 juga membantu pekerja dalam memahami dan merespons perubahan dalam prosedur keselamatan, teknologi, atau peraturan yang mungkin terjadi di tempat kerja.
Selain itu agen perubahan K3 juga membantu dalam mengembangkan kesadaran akan risiko yang mungkin terjadi di tempat kerja. Diungkapkan Edi, umumnya ketika pekerja memahami bahaya yang ada, mereka lebih cenderung mengambil tindakan pencegahan, menggalang dukungan dari rekan-rekan kerja dan manajemen terhadap inisiatif keselamatan kerja. Dengan kata lain, agen perubahan K3 dapat menjadi advokat yang efektif untuk budaya keselamatan yang lebih baik.
"Agen perubahan (change agent) K3 yang memiliki kompetensi yang baik akan membantu dalam mencegah kecelakaan dan cedera di tempat kerja. Mereka dapat menjadi agen perubahan yang mempromosikan praktik keselamatan yang lebih baik. Penting untuk dicatat bahwa agen perubahan (change agent) K3 bukanlah hanya individu yang mendapat pelatihan dan memiliki kompetensi K3 yang memadai, namun juga mereka yang bersedia dan mampu untuk mempromosikan budaya keselamatan," pungkas Edi Priyanto.