EKBIS.CO, JAKARTA -- Pembentukan Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi (LPK) dinilai mendesak. Maka, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah mada (UGM) mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian harus segera dirampungkan.
Pengamat Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir menjelaskan, kehadiran lembaga pengawas usaha simpan pinjam koperasi merupakan kebutuhan mendesak. Bukan hanya bagi Kementerian koperasi dan UKM (Kemenkop), tetapi bagi seluruh gerakan koperasi di Indonesia.
"Pembentukan lembaga tersebut akan menjadikan industri usaha simpan pinjam koperasi menjadi lebih kokoh dan sehat," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (14/12/2023). Revrisond mengatakan, lembaga tersebut akan berperan besar dalam memberi arah pengembangan industri usaha simpan pinjam yang lebih jelas.
Menurut dia, reformasi usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia bukan kerja semalam. “Untuk menata kembali industri simpan pinjam, harus dibuat peta jalan yang jelas ke mana arahnya, sehingga tidak tambal sulam," tutur dia.
Revrisond menekankan, sebagai perbandingan, rasio jumlah pelaku dan anggota di tingkat global itu satu banding 3.000. Artinya satu KSP melayani 3.000 anggota.
Dari data yang ada, Indonesia baru mencapai rasio satu banding 500. Hal itu menurutnya, jauh dari rata-rata global, sehingga ia berharap, lembaga tersebut bisa mendorong konsolidasi usaha simpan pinjam, sebagaimana pengalaman di Kanada yang berhasil mengonsolidasikan ribuan koperasi, yang saat ini menjadi 458 koperasi kredit.
Sebagai pembanding, sama seperti yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dengan mengonsolidasi pelaku keuangan di tanah air. Ia menggambarkan, saat ini ada lebih dari 18 ribu KSP dan puluhan ribu unit USP.
Jumlahnya banyak, kata dia, tapi skalanya mikro. Maka, untuk mengawasi itu, kata Revrisond, membutuhkan anggaran besar, jika pikiran tetap mengacu pada kuantitas.
Hanya saja, sambungnya, berbeda bila dilakukan konsolidasi usaha, sehingga dari jumlah yang banyak tersebut menjadi turun secara kuantitas tetapi lebih efisien dalam berbagai sisi sehingga berpotensi lebih mudah dalam meningkatkan kualitasnya. Jumlah badan hukum menjadi mengecil, tetapi jangkauan layanannya semakin luas.
“Prinsip koperasi yang pertama, keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, tujuannya untuk meningkatkan skala ekonomi koperasi. Dengan terbuka pada semua orang, skalanya meningkat. Jangkauan layanan luas, operasional efisien, biaya layanan menjadi lebih terjangkau. Artinya manfaatnya lebih besar bagi anggota," tutur dia.
Akademisi UGM tersebut mendesak agar DPR RI secepatnya merampungkan pembahasan RUU Perkoperasian. Itu karena baginya, tidak mungkin mereformasi koperasi di Indonesia secara sistemik tanpa mereformasi regulasinya.
“Koperasi ini entitas yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33. Maka harus menjadi concern para legislator," tegas dia.
Deputi Perkoperasian Kemenkop Ahmad Zabadi menyambut baik gagasan Revrisond yang bisa memperkaya substansi RUU Perkoperasian mendatang. "Betul, jumlah pelaku usaha simpan pinjam yang banyak itu menjadi tantangan dalam pengawasannya. Konsolidasi usaha kita dorong melalui merger atau amalgamasi," jelas dia.
Zabadi mengatakan, hal tersebut akan lebih efektif dengan adanya Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi. Selain itu, pemberian izin usaha simpan pinjam yang terpusat di lembaga itu, dapat menyaring mana koperasi yang didirikan berbasis nilai dan prinsip koperasi, dan mana yang hanya memanfaatkan badan hukum koperasi.
Berkaca pada sebelumnya, banyak pelaku industri keuangan masuk ke usaha simpan pinjam, dengan memanfaatkan loop hole dari kemudahan perizinan serta lemahnya pengawasan di koperasi. "Maka, dengan adanya lembaga tersebut, pengawasan akan makin efektif, dan menghilangkan arbitrase regulasi dalam pengawasan simpan pinjam dengan industri keuangan," tuturnya.
Kemenkop, lanjut dia, akan mendesain agar lembaga ini benar-benar menjadi ujung tombak purifikasi atau pemurnian usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia. Itu sesuai jati diri koperasi.