EKBIS.CO, JAKARTA -- Calon Presiden (Capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto mengungkapkan tidak masalah jika rasio utang Indonesia mencapai 50 persen dari PDB. Hal itu disampaikannya dalam debat capres ketiga, Ahad (7/1/2024). Berkaitan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan ukuran aman atau tidaknya utang tidak hanya dilihat dari satu indikator saja.
"Jadi bukan hanya bisa dilihat dari berapa besarnya persentase utang terhadap PDB. Kalau hanya indikator utama terhadap PDB memang Indonesia secara angka di bawah negara-negara lain apalagi negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan beberapa negara tetangga," kata Faisal kepada Republika.co.id, Selasa (9/1/2024).
Faisal menjelaskan, semenjak pandemi Covid-19, rasio utang meningkat sampai 40 persen terhadap PDB. Jika dilihat lebih jauh, Faisal mencontohkan, rasio utang Jepang terhadap PDB mencapai sekitar 200 persen namun strukturnya adalah sebagian besar utang dalam negeri dan hanya sedikit utang luar negeri (ULN)-nya.
Jadi, kata Faisal, kepemilikan utang harus dilihat dari mana asalnya. "Kalau dia semakin besar proporsi ULN-nya atau dari obligasi tapi obligasinya kepemilikan asing, nah berarti makin rentan terhadap guncangan eksternal," ucap Faisal.
Di luar indikator tersebut, Faisal mengatakan juga harus dilihat dari pertumbuhan utang dibandingkan dengan pertumbuhan pajak. Faisal menyebut, pertumbuhan pajak Indonedia masih relatif terbatas dengan pertumbuhan utang, terlebih sejak pandemi.
Faisal menuturkan, semenjak pandemi, pertumbuhan utang terkselerasi dibandingkan pertumbuhan pajak. "Oleh karena itu makanya harus dibatasi direm. Makanya kemarin setelah ada pelebaran batas boleh defisit anggaran di atas tiga persen itu hanya boleh sampai 2023. Setelah 2023 kembali ke bawah tiga persen. Nah sekarang Kemenkeu mengerem bagaimana supaya di bawah tiga persen," jelas Faisal.
Dia menegaskan, tingkat pertumbuhan utang pada dasarnya memang harus dikendalikan setelah ada akselerasi pada masa pandemi. Faisal menilai, kondisi tersebut menunjukkan perlunya keseimbangan atau kehati-hatian dalam menambah utang.
Teelebih, Faisal mengatakan ULN di tengah kondisi sekarang dibarengi ddngan pertumbuhan pajak yang terbatas. Lalu indikator lainnya yaitu kemampuan besarnya utang dibandingkan dengan kemampuan pembiayaan penerimaan dari ekspor barang dan jasa.
"Kemampuan besarnya utang dibandingkan dengan kemampuan pembiayaan penerimaan dari ekspor barang dan jasa kita masih sangat dalam kategori riskan karena penerimaan ekspornya tidak sebanding dengan pertambahan utangnya. Terutama saat pandemi," tutur Faisal.
Jadi, kata dia, untuk mengatakan utang tersebut aman, tidak hanya dari indikator persentase terhadap PDB. Terlebih, Faisal mengatakan standar aman tersebut masih diperdebatkan oleh banyak negara.