EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia sedikit banyak akan terdampak situasi di Laut Merah yang terus memanas usai adanya konflik kelompok Houthi Yaman dengan pasukan Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini karena Perairan Laut Merah merupakan jalur strategis yang dilalui 12 persen perdagangan dunia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan, konflik yang terjadi di Laut Merah punya dampak berisiko tinggi ke Indonesia. Untuk itu, Pemerintah dinilai perlu melakukan langkah antisipasi.
"Jika tidak maka kinerja ekspor Indonesia bisa turun dan membuat neraca dagang surplusnya jadi tidak berkualitas. Kemudian fluktuasi kurs akan ganggu berbagai aktivitas dunia usaha dan mendorong inflasi lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi bakal sulit terjaga di 5 persen," ujar Bhima kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan stress test atau pengujian daya tahan terkait dampak meluasnya konflik Timur Tengah terhadap indikator stabilitas ekonomi Indonesia baik fluktuasi kurs rupiah, inflasi hingga investasi langsung.
Ia menilai, selain ekspor-impor, arus investasi dari Timur Tengah bisa saja mengalami tekanan karena investor mencari aset yang lebih aman.
"Kedua, Pemerintah juga diminta berkomunikasi dengan pelaku usaha baik yang mengandalkan ekspor ke wilayah Timur Tengah maupun pengusaha impor bahan baku guna mencari pengalihan pasar potensial lainnya," kata Bhima.
Ketiga, lanjut Bhima, karena gejolak geopolitik di Timur Tengah cukup tinggi, baik konflik di Gaza yang terus berlangsung dan kini justru meluas ke Yaman, maka pemerintah perlu mengantisipasi ketahanan pangan dan energi nasional. Hal ini karena situasi di Timur Tengah dinilai akan berpengaruh pada pasokan minyak dan gas dunia, termasuk Indonesia.
"Salah satunya memastikan produksi bahan pangan dalam negeri lebih tinggi dari tahun lalu, dan mendorong transisi energi lebih cepat meninggalkan energi berbasis fosil," ujarnya.
Keempat, Bhima mendorong Pemerintah memberikan stimulus lebih besar kepada sektor-sektor berorientasi ekspor. Stimulis ini kata Bhima, harus bersifat padat karya dengan keringanan PPN, bea keluar dan diskon tarif listrik.
Sebelumnya, Bhima menilai konflik di Laut Merah punya dampak berisiko tinggi ke Indonesia, khususnya kinerja ekspor tujuan Timur Tengah dan Afrika Utara. Meskipun serangan Houthi sebagai upaya membela Palestina ini ditujukan ke kapal kargo negara barat khususnya AS, tetapi dampaknya juga memberi ketakutan ke negara lainnya.
Bhima melanjutkan, dampaknya biaya logistik bisa naik dan mempersulit pengiriman bahan baku maupun barang jadi. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu waspada dan memantau terus situasi di Laut Merah dan mengantisipasi jika situasi memburuk.
Ia menilai, jika salah satu yang diserang kapal kargo komoditas seperti minyak maka harga energi meningkat drastis dan mempengaruhi subsidi energi di Indonesia.
"Meskipun dampaknya masih kecil dan tergantung seberapa lama konflik di Laut Merah berlangsung namun kenaikan harga minyak diperkirakan berkisar 75-78 dolar AS per barrel, tetap sulit tembus diatas 80 dolar AS per barrel karena permintaan sebagian besar menurun," ujanya.
Selain minyak, kata dia, ada CPO, batubara dan bijih besi yang akan naik. Menurutnya, dampak jangka pendek akan terjadi perubahan rute logistik, kemudian biaya keamanan dan asuransi akan meningkat.
"Tentu efeknya tidak bisa dipandang remeh. Dunia saat ini sedang alami fragmentasi rantai pasok, ditambah gangguan logistik, yang terjadi adalah delay pengiriman yang merugikan banyak pihak," ujar Bhima.