EKBIS.CO, JAKARTA — Peristiwa Malari genap berusia 50 tahun, hari ini (15/1/2024). Sehari sebelum 15 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia dan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa kecil-kecilan di Lanud Halim Perdanakusuma.
Lalu, pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa melakukan longmarch dari Kampus UI, Salemba ke Universitas Trisakti saat Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan PM Tanaka. Sementara mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa, terjadi kerusuhan dan pembakaran di pusat Kota Jakarta.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan mahasiswa pada kejadian Malari 1974 menolak masuknya investasi asing yang berpotensi membuka celah korupsi di pemerintahan. Serta juga menolak investasi yang berdampak buruk bagi lingkungan dan hak asasi manusia.
Piter menuturkan tuntutan mahasiswa 1974 masih relevan sampai saat ini. Piter menegaskan, mahasiswa bukan menolak investasi asing tapi korupsi, kerusakan lingkungan, dan pengabaian hak asasi manusia.
“Investasi asing kita butuhkan tetapi jangan sampai menjadi pintu korupsi dan pengrusakan lingkungan. Apalagi melanggar HAM,” kata Piter kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Piter menuturkan, Indonesia sudah jauh lebih mandiri. Hanya saja, Piter menilai untuk tumbuh besar, Indonesia tetap membutuhkan investasi asing.
Dia mengungkapkan, tidak ada negara di dinia ini yang bisa tumbuh menjadi negara besar tanpa investasi asing. “China menjadi superpower sekarang ini dikarenakan begitu besarnya FDI (foreign direct investment) yang masuk pada periode tahun 1980 hingga 1990-an. Bahkan, sampai saat ini FDI masih masuk deras ke China,” jelas Piter.
Peristiwa Malari relatif tak berdampak pada hubungan bilateral antara RI dan Jepang. Malah 50 tahun kemudian, kerja sama di berbagai sektor antara kedua negara makin mesra dan lengket.
Jepang saat ini masih menjadi investor otomotif terbesar di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga masih menjadi salah satu pasar otomotif terbesarnya.