EKBIS.CO, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, meminta para investor untuk tidak lagi melakukan wait and see maupun merasa ragu untuk berinvestasi karena Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat terus dikembangkan.
“Sekarang waktunya untuk berhenti melakukan wait and see. Jika Anda berinvestasi sekarang, kesempatan untuk mendapatkan keuntungannya lebih tinggi daripada berinvestasi nanti-nanti,” kata Perry Warjiyo dalam pembukaan Mandiri Investment Forum di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Ia mengajak semua pihak untuk optimistis melihat perkembangan perekonomian Indonesia di masa mendatang, mengingat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,05 persen sepanjang 2023 saat banyak negara memiliki pertumbuhan di bawah 5 persen bahkan ada yang berjuang keras menghadapi inflasi.
Menurutnya, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh positif dalam kisaran 4,75 hingga 5 persen tahun ini dan 4,8 hingga 5,6 persen pada 2025 didukung oleh kinerja ekspor, tingkat konsumsi golongan menengah dan atas, serta investasi.
“Kinerja perekonomian Indonesia memang masih belum optimal (below potential output) sehingga masih ada ruang untuk berkembang. Kinerja ekonomi kita masih akan terus meningkat,” ujar Perry.
Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level puncak pada 2027. Demi memaksimalkan potensi tersebut, ia menuturkan bahwa pihaknya kini fokus memastikan tingkat inflasi terjaga pada kisaran 2,5 plus minus 1 persen dalam dua tahun mendatang.
Dia menyatakan bahwa Bank Indonesia memproyeksikan tingkat inflasi tahunan akan mencapai 2,8 persen pada 2024 dan turun menjadi 2,6 persen tahun depan. Perry juga menyoroti potensi pertumbuhan sektor perbankan yang menurutnya masih akan didukung oleh pertumbuhan kredit yang mencapai dua digit, yaitu sekitar 11 hingga 13 persen.
Untuk mendorong pertumbuhan ini, ia menyampaikan bahwa pihaknya akan melanjutkan pemberian insentif likuiditas untuk mendukung bank untuk memperluas pemberian pinjaman. Dia menyebutkan bahwa total insentif yang disiapkan yaitu sebesar Rp 268 triliun, namun baru terpakai sekitar Rp 150 triliun.
“Semakin besar pinjaman yang diberikan, kami akan memberikan semakin banyak insentif likuiditas,” ucap Perry.