EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Radhika Rao merevisi turun perkiraan pemangkasan suku bunga BI-Rate oleh Bank Indonesia (BI), menjadi sebesar 50 basis poin (bps) pada 2024. Hal itu dikarenakan antara lain faktor inflasi dan proyeksi lebih sedikitnya pemotongan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.
"Meningkatnya inflasi dalam negeri, berkurangnya surplus perdagangan, dan tingginya ketidakpastian mengenai arah suku bunga global akan menghalangi Bank Indonesia untuk melakukan tindakan dovish yang bersifat pre-emptive," kata Radhika di Jakarta, Kamis (18/4/2024).
DBS Group Research sebelumnya memproyeksikan BI menurunkan tingkat suku bunga acuannya sebanyak 75 bps sampai menyentuh level 5,25 persen pada akhir 2024.
Ekonom Bank DBS itu menuturkan pihaknya juga merevisi turun proyeksi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 50 bps, bukan 100 bps pada 2024.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia pada Maret 2024 menguat sebesar 3 persen (yoy) dibandingkan 2,8 persen di bulan sebelumnya, karena tingginya harga pangan dan perayaan Hari Besar Keagamaan Nasional dalam momentum Ramadhan dan Idul Fitri.
Secara bulanan, tekanan harga naik 0,5 persen dibandingkan 0,4 persen di bulan sebelumnya dan lebih tinggi dari tren historis.
Sumber kenaikan disebabkan oleh tekanan dari sisi penawaran karena indeks volatilitas naik 10,3 persen yoy, sehingga mendorong kenaikan harga bahan makanan sebesar 8,5 persen yoy. Sebaliknya, inflasi yang diatur pemerintah turun kembali ke 1,4 persen. Inti meningkat hingga 1,8 persen.
Hal itu mencerminkan kenaikan harga beras yang terus-menerus, risiko terhadap produksi dalam negeri akibat El Nino, dan menguatnya permintaan di tengah Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Radhika memproyeksikan tekanan harga akan mencapai puncaknya pada kuartal II 2024 sebelum berkurang hingga pertengahan target 1,5 persen sampai dengan 3,5 persen.
Namun, prospek tersebut dikaburkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah dan lebih sedikitnya penurunan suku bunga acuan The Fed pada semester II 2024, sehingga menyebabkan Bank Indonesia (BI) mendukung pasar obligasi dan mengatasi volatilitas nilai tukar melalui intervensi.