EKBIS.CO, JAKARTA — Mobilitas masyarakat kini sudah kembali normal setelah tertahan pandemi Covid-19. Jalan penghubung lima kota satelit Jabodetabek mulai sesak setiap kali menemui jam sibuk. Penggunaan kendaraan pribadi pun kini mulai menuju normal karena kemacetan mulai terdeteksi bahkan lebih parah dibandingkan kondisi sebelum pandemi.
Pada akhirnya, isu polusi udara mencuat tak lama setelah aktivitas masyarakat kembali normal. Langit kota metropolitan sering terpantau gelap dan kondisi udara kerap memburuk.
Meskipun sepenuhnya bukan disebabkan karena transportasi, namun sektor ini juga menjadi salah satu yang menyumbang polusi. Penghuni Jakarta Raya masih perlu memaksimalkan lagi transportasi umum, khususnya yang berbasis rel untuk mengosongkan ruang di jalan-jalan demi menyelamatkan udara bersih.
Berdasarkan data temuan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), tingkat polusi udara Jakarta pada 2023 secara keseluruhan sangat menurun sejak 2019. Walaupun ada sedikit perbaikan di antara 2020 dan 2022, peningkatan polusi udara pada 2023 merupakan kemunduran yang cukup signifikan.
“Lebih dari 29 juta orang yang tinggal di daerah Jabodetabek terpapar polusi udara pada tingkat tidak sehat, selama lebih dari separuh 2023,” kata Analis CREA Katherine Hasan dikutip dari laporan CREA pada April 2024.
Tren bulanan kualitas udara Jakarta pada 2023 berada pada rentang tidak sehat yaitu 40-50 μg per meter kubik sepanjang Juni hingga akhir tahun. Jumlah tersebut setara dengan delapan hingga 10 kali lipat Pedoman Kualitas Udara WHO 2021.
Selain mengatasi akar masalah utama dari penyebab buruknya kualitas udara, penggunaan transportasi umum bisa menjadi upaya yang bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Terutama transportasi berbasis rel yang saat ini sudah dihadirkan di sejumlah perkotaan.
Perluas lintasan
Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengakui, pengembangan dan perluas transportasi berbasis rel bisa membantu dalam pengurangan polusi udara. Djoko menuturkan dengan semakin lengkap tersedianya perlintasan kereta di banyak perkotaan bisa membuat masyarakat lebih nyaman dalam mobilitasnya.
“Perluasan daya jangkau angkutan berbasis rel ini bisa sangat membantu dalam pengurangan polusi udara dna itu potensinya juga besar untuk perkotaan,” kata Djoko kepada Republika, Kamis (25/4/2024).
Terlebih, Djoko menuturkan penerapan transportasi seperti kereta rel listrik (KRL) sudah tidak hanya dikembangkan di Jabodetabek saja. Saat ini, commuterline sudah dioperasikan untuk lintasan Yogya-Solo, Merak, dan target pengoperasian di wilayah lain.
“Sekarang sedang dibangun bisa dua tahun selesai di perkotan Surabaya dan Bandung Raya. Bandung nanti dibuat listrik aliran atas (LAA) untuk KRL dari Cicalengka menuju Padalarang setelah sudah double track tinggal dibuat listrik atas. Makanya sekarang wilayah yang dioperatori KCI bertambah,” jelas Djoko.
Dengan semakin lengkapnya transportasi berbasis rel, Djoko yakin pilihan masyarakat menggunakan transportasi umum akan semakin banyak. Tidak hanya di Jabodetabek saja namun juga akan menyebar di kota besar lainnya dan pada akhirnya bisa membantu dalam menyehatkan kualitas udara.
Untuk lingkungan berkelanjutan
Dalam mengurangi emisi dan polusi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengambil langkah nyata dari sektor transportasi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan upaya tersebut terus menerus dilakukan, terintegrasi dengan kebijakan lainnya, serta dilakukan secara massif dengan proyeksi kemanfaatan yang berjangka panjang demi mendukung terciptanya lingkungan berkelanjutan.
“Sejumlah pembangunan sarana transportasi massal seperti MRT, LRT, dan Kereta Cepat terus dikebut sebagai upaya dan kebijakan jangka panjang untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil di sektor transportasi,” kata Budi, beberapa waktu lalu.
Dalam sebuah acara Konferensi Energy Transition Conference and Exhibition 2023 yang diselenggarakan Dewan Energi Nasional (DEN) dengan tema Kolaborasi Mewujudkan Transisi Energi Menuju Net Zero Emission 2060, Budi mengungkapkan transportasi massal saat ini sudah menjadi keharusan untuk dilakukan, meski proses membangunnya tidak mudah. Untuk itu, Budi mengajak seluruh stakeholder terkait aktif mempromosikan penggunaan transportasi massal kepada masyarakat luas.
“Para pendekar energi juga harus turut mencontohkan. Misalnya kalau mau ke Bandung, jangan naik kendaraan pribadi, tapi naik Whoosh (kereta cepat),” ucap Budi.
Rel terintegrasi
Lintasan berbasis rel di Jabodetabek kini semakin kuat dengan terintegrasinya KRL, Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, dan Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodebek. Khusus di Jakarta, saat ini perpanjangan lintasan MRT terus dikebut.
Saat menghadiri menghadiri kegiatan Transit Oriented Development (TOD) Investment Forum 2024 di KBRI Tokyo, Kamis (25/4/2024), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan hingga saat ini pengembangan proyek MRT telah berjalan sesuai rencana. Budi mengapresiasi dukungan Jepang hingga terlaksananya penandatanganan Contract Package CP205 antara MRT Jakarta dengan Sojitz Corporation.
Budi menilai proyek CP205 yang menghubungkan Bundaran HI-Kota akan memperluas jangkauan MRT dan juga akan meningkatkan konektivitas. Selain itu juga kemacetan serta memperbaiki kualitas udara dengan mengurangi emisi kendaraan bermotor.
"Ini merupakan sebuah jalan menuju perubahan yang membawa dampak positif bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya dengan menghadirkan alternatif transpotasi yang lebih nyaman, aman, dan efisien," ucap Budi.
Budi mengajak masyarakat, khususnya Jakarta selalu menggunakan transportasi umum setelah tersedianya berbagai macam pilihan moda transportasi massal. Budi menuturkan, saat ini penggunaan angkutan massal di Jakarta pun belum terlalu tinggi.
“Jadi saya mengajak, ayo menggunakan angkutan massal. DKI sudah menyediakan MRT, BRT, ada juga LRT, dan juga ada KRL. Gunakan angkutan massal supaya tidak macet dan tidak polusi," ujar Budi.
Minim emisi
Sejak lama, Kementerian Perhubungan menekankan emisi yang dihasilkan kereta api jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan mobil atau pesawat. Dalam 200 mil perjalanan, emisi yang dihasilkan mobil atau pesawat lima kali lipat jika dibandingkan dengan kereta api.
Berdasarkan penelitian dari Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri Inggris via Our World in Data, emisi setara CO2 per penumpang per kilometer pada kereta adalah 41 gram, sepeda motor 103 gram, dan mobil 192 gram. Untuk itu, perjalanan kereta dengan 1.120 penumpang hanya menghasilkan 45.920 gram CO2 per kiloemter, jauh lebih rendah dibanding motor sebanyak 115.360 gram CO2 dan mobil sebanyak 215.040 gram CO2.
Saat ini PT Kereta Api Indonesia (Persero) sudah memiliki layanan kereta ramah lingkungan dengan menggunakan sumber energi listrik yang bebas emisi. Layanan tersebut yakni KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta-Solo, KA Bandara Soekarno-Hatta, LRT Sumatra Selatan, LRT Jabodebek, dan Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung.
VP Pubic Relations KAI Joni Martinus mengatakan kereta api baik untuk perjalanan jarak jauh ataupun commuter hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat. Dengan beralihnya pengguna kendaraan pribadi ke kereta api, maka akan dapat mengurangi angka kecelakaan, kemacetan, emisi gas buang kendaraan, serta mengefisienkan waktu dan tenaga.
“Kereta api memiliki peran yang besar dalam melestarikan lingkungan dan menyediakan mobilitas bagi masyarakat. KAI bersama-sama seluruh stakeholder akan terus mengembangkan layanan kereta api agar kereta api semakin maju dan dapat memberikan nilai lebih secara berkelanjutan,” ungkap Joni.