Jumat 12 Jul 2024 20:12 WIB

Apakah Peningkatan Utang Negara Selalu Berkorelasi Negatif? Ini Penjelasan Ekonom

Ini karena peningkatan utang dianggap beban buat masa depan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

EKBIS.CO,  JAKARTA – Berkembangnya isu kenaikan rasio utang negara hingga 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa kepemimpinan Prabowo-Gibran menarik perhatian publik. Ini karena peningkatan utang dianggap beban buat masa depan. Kendati demikian, ekonom yang juga Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam berpandangan agar masyarakat perlu memahami esensi utang negara dalam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Piter memiliki beberapa catatan mengenai utang negara yang diisukan bakal terus meningkat, seiring dengan banyaknya program-program Prabowo-Gibran yang dijanjikan saat kampanye Pilpres 2024 untuk dapat direalisasikan.

Baca Juga

Pertama, angka kenaikan rasio utang 50 persen tidaklah melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam beleid tersebut diatur bahwa ambang batas rasio utang negara terhadap PDB adalah 60 persen.

“Kalaupun (terealisasi) 50 persen, pemerintah tidak melanggar undang-undang karena undang-undang membatasi 60 persen. Artinya masih dalam koridor,” kata Piter kepada Republika, Jumat (12/7/2024).

Menurut Piter, semestinya hal itu tidak perlu diributkan. Yang justru perlu untuk lebih difokuskan adalah mengenai tujuan dari peningkatan rasio utang tersebut, yakni untuk memacu pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengentaskan kemiskinan.

“Jadi yang mesti kita tuntut dari pemerintah adalah bagaimana pemerintah menjaga perekonomian untuk tumbuh dan memberikan lapangan kerja yang cukup. Mengenai bagaimana pemerintah mewujudkan, itu urusan pemerintah,” ujarnya.

Kedua, persepsi publik terhadap utang sebaiknya tidak serta merta bertendensi buruk. Utang dalam konteks perekonomian modern merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan perekonomian.

“Jadi, jangan melihatnya semata kebencian kita terhadap utang. Karena di dalam perekonomian modern, utang adalah bagian dari pengelolaan aset, bagaimana mengelola wealth (kekayaan) kita,” tuturnya.

Ketiga, kenaikan utang negara bukanlah permasalahan utama yang perlu disorot publik. Menurutnya, isu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara komprehensif adalah yang menjadi pusat perhatian.

No problem utang itu naik, seharusnya yang menjadi fokus bukan utang, tapi APBN-nya. Menjadi 50 persen selama tidak melanggar UU, selama APBN dilakukan dengan hati-hati, selama APBN dilakukan secara lebih produktif, why not, apa yang salah?” terangnya.

Jadi, Piter menekankan bahwa yang harus menjadi fokus adalah bagaimana pemerintah dalam mengelola APBN secara produktif dan efisien. Sehingga besaran utang tidak menjadi masalah krusial selama pengelolaannya baik.

“Kenaikan utang terhadap PDB bukan ukuran bahwa kita menjadi tidak lebih efisien atau tidak lebih produktif. Ada ukuran lain untuk bicara efisiensi atau produktivitas dari APBN,” kata Piter.

Sebelumnya dikabarkan, Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menaikkan rasio utang dari 39 persen menjadi 50 persen dari PDB kembali mencuat. Hal tersebut disampaikan adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.

Menurut Hashim rencana tersebut bahkan sudah dilaporkan ke Bank Dunia. “Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50 persen adalah tindakan yang bijaksana,” ujar Hashim saat berbincang dengan Financial Times.

Kepada Financial Times, Hashim mengakui kenaikan rasio utang untuk membiayai makan bergizi gratis yang merupakan program unggulan pasangan Prabowo-Gibran. Namun, lanjut Hashim, kenaikan rasio utang tersebut akan dilakukan bersamaan dengan menaikkan pendapatan negara.

“Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Untuk Pendapatannya bisa mulai dari pajak, pajak ekspor, royalti dari penambangan dan pajak impor,” kata Hashim.

Saat dikonfirmasi terpisah, Bank Dunia tidak mau menanggapi permintaan komentar perihal hal itu. Berdasarkan peraturan, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60 persen dari PDB.

Rencana pinjaman pemerintah Prabowo menandai pergeseran besar dari sikap fiskal konservatif Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengubah Indonesia menjadi kekuatan komoditas. Hashim adalah salah satu penasihat terdekat Prabowo dan akan memainkan peran penting pada Oktober nanti.

Hashim disebut sudah menyampaikan ide itu dalam pertemuan dengan perusahaan dan konsultan pada Juni 2024. Menurut sumber, Hashim mengatakan, pemerintah Prabowo akan mencapai target dari 39 persen menjadi 50 persen utang dari PDB secara bertahap yakni naik sebanyak dua persen dalam jangka lima tahun. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement