Rabu 31 Jul 2024 12:49 WIB

Benih Bioteknologi Jadi Solusi Cegah Krisis Pangan

Perlu ada intervensi untuk menjaga ketahanan pangan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Kegiatan sarasehan
Foto: Lintar Satria
Kegiatan sarasehan

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Kebutuhan adanya kontribusi di bidang ilmu bioteknologi untuk mencegah risiko krisis pangan kian dibutuhkan. Data Badan Urusan Logistik (BULOG) menunjukan dampak serius dari perubahan ikim terhadap ketahanan pangan sudah semakin terasa, khususnya dari sisi penurunan produksi tanaman pangan.

Sebagai contoh, produksi beras nasional dari Januari hingga April 2024 mengalami penurunan sebesar 17,74 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 22,55 juta ton menjadi 18,55 juta ton. Direktur Utama Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan perlu ada intervensi untuk menjaga ketahanan pangan.

"Praktik "business as usual” atau cara biasa akan membuat produksi beras justru menurun dan harga akan naik," katanya di sarasehan "Pertanian Berkelanjutan dan Adopsi Teknologi Modern," Rabu (31/7/2024).

Bayu mengatakan, tanpa pemanfaatan teknologi, Bulog memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20 persen, namun harga akan naik hingga 20 persen.

Sarasehan yang digelar Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian dan asosiasi nirlaba yang mewakili kepentingan petani, industri benih, dan pestisida di Indonesia, CropLife Indonesia (CLID) merupakan respons ancaman krisis pangan global dan mengeksplorasi solusi bioteknologi di sektor pertanian.

Badan Pangan Nasional (Bapanas/NFA) juga menekankan peran penting bioteknologi sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional. Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Bapanas Yusra Egayanti mengatakan selain menghadapi tantangan perubahan iklim, Indonesia juga harus mengantisipasi pertumbuhan populasi dan alih fungsi lahan.

"Dengan populasi penduduk Indonesia yang diprediksi akan mencapai 324 juta jiwa pada tahun 2045, tentu harus dibarengi dengan kesiapan kita memproduksi bahan pangan yang lebih besar lagi. Salah satu solusi yang kami rasa tepat untuk adalah dengan pemanfaatan benih PRG (produk rekayasa genetik) di sektor pertanian Indonesia," kata Yusra.

Asisten Deputi Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Ismariny mengatakan, Kemenko Perekonomian mendorong lebih banyak sinergi peningkatan ketahanan pangan nasional dilakukan di berbagai lini.

"Sebagai contoh, Kemenko Ekonomi sudah mulai menggagas banyak program seperti suplai peningkatan produksi, diversifikasi pangan, efisiensi distribusi pangan, penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi dan kualitas pangan, hingga penguatan stok pangan nasional. Fokus kami adalah membuat program yang manfaatnya bisa dirasakan oleh petani dan masyarakat," katanya.

Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) telah melakukan pelepasan pada sepuluh tanaman PRG yang terdiri dari delapan jenis jagung PRG, satu kentang PRG, dan satu tebu PRG. Kepala PPVTPP Leli Nuryati, mengatakan dalam melakukan pelepasan varietas tanaman PRG, PPVTPP selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat.

"Di lapangan, benih PRG nyatanya sangat dinantikan oleh petani kita. Pada dasarnya mereka sangat siap untuk mengelola varietas unggulan ini. Tugas kita adalah memastikan proses pelepasan yang sesuai aturan dan prosedur, serta meminimalisir produk palsu yang merugikan petani juga masyarakat," kata Leli.

Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan mengatakan meski kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar, pengembangan benih unggul di Indonesia bisa dibilang terlambat dibanding negara lain. Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun.  

Menurutnya, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat persetujuan penggunaannya, dan itu pun masih dalam skala terbatas.

"Regulasi yang ketat masih jadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi, tantangan yang dihadapi para petani sudah berubah. Padahal dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya," kata Agung.

Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia, seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30 persen. Agung mengatakan pencapaian ini menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

“Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi benih bioteknologi di pasar, sehingga para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain," tambah Agung.

Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia Agustine Christela Melviana menambahkan penerapan benih bioteknologi memungkinkan petani untuk meminimalkan potensi kehilangan hasil. Benih bioteknologi dirancang untuk memiliki sifat unggul. Artinya, ketika ditanam, tanaman yang dihasilkan bisa lebih resisten terhadap hama, gulma, penyakit, ataupun kondisi lingkungan yang ekstrem.

"Dengan pemanfaatan benih bioteknologi ini, potensi kehilangan hasil pertanian bisa ditekan hingga 10 persen, yang berarti ada peningkatan produksi panen yang signifikan bagi petani di lahan terbatas," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement