EKBIS.CO, JAKARTA -- Asumsi nilai tukar mata uang rupiah dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2025 menjadi salah satu topik yang perlu disorot. Pasalnya, perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Bank Indonesia (BI) berbeda dalam menentukan asumsi nilai tukar rupiah pada tahun depan.
“Dalam usulan dasar ekonomi makro 2025, nilai tukar kita menggunakan di atas (dibandingkan outlook 2024 sebesar Rp 16.000 per dolar AS) yaitu Rp 16.100 per dolar AS,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Penetapan asumsi Rp 16.100 per dolar AS tersebut berdasarkan pada anggapan pemerintah dalam menanggapi kondisi ketidakpastian global yang sulit diprediksi. Itu terlihat dari pergerakan mata uang Garuda yang sangat kontras belakangan ini.
Menurut catatannya, pada akhir 2023 hingga setidaknya akhir Juli 2024, rupiah mengalami depresiasi sekitar 5-6 persen. Lantas, pada akhir Juli hingga saat ini (akhir Agustus 2024), rupiah berbalik terapresiasi di angka sekitar 5 persen secara month to date (mtd). Meski secara year to date (ytd) tetap terjadi depresiasi meski lebih kecil, yakni sekitar 0,5 persen.
Sri menilai hal itu menggambarkan dinamika ketidakpastian global sangat perlu untuk diwaspadai. Sehingga muncul angka asumsi rupiah sekitar Rp 16.100 per dolar AS, meskipun setidaknya hingga saat ini rupiah sudah bergerak menguat di kisaran Rp 15.400 per dolar AS.
Berbeda dengan asumsi pemerintah, BI mematok target pergerakan rupiah di angka yang lebih kuat pada 2025, yakni Rp 15.300 hingga Rp 15.700 per dolar AS. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, nilai tukar rupiah akan terus mengalami penguatan ke depannya.
“Secara fundamental nilai tukar rupiah akan mengalami penguatan secara keseluruhan kisarannya untuk tahun 2024 adalah Rp 15.700-Rp 16.100 per dolar AS, sementara untuk tahun 2025 kisarannya di Rp 15.300-Rp 15.700 per dolar AS. Perkiraan ini adalah perkiraan rerata berdasarkan assessment terhadap kondisi fundamental,” kata Perry dalam agenda RDP yang sama.
Lebih lanjut, Perry menjelaskan alasan asumsi tersebut. Pertama, karena Fed Funds Rate (FFR) yang diprediksi akan segera turun. Kedua, karena kondisi makro ekonomi Indonesia yang positif, baik tingkat inflasi yang rendah maupun pertumbuhan ekonomi yang resilien. Ketiga, imbal hasil yang tetap menarik, termasuk imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Memang ada sejumlah risiko yang harus tetap kita waspadai di global khususnya yang berdampak terhadap tatanan nilai tukar rupiah seperti risiko geopolitik baik berkaitan dengan Pilpres AS, hubungan AS-China, di Timur Tengah maupun negara-negara yang lain yang agak sulit bagi kami untuk memperkirakan dinamika kondisi politik yang bisa memberikan tekanan,” jelasnya.
Perry melanjutkan, BI berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Yakni dengan tetap menjaga kecukupan cadangan devisa. “Itu tentu saja perkiraan-perkiraan kami. Ini dengan asumsi tidak ada kondisi geopolitik yang kemudian memburuk, atau kondisi lain yang bisa memberikan tekanan pada nilai tukar di tahun depan,” terangnya.