EKBIS.CO, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen yang dicanangkan pemerintahan Prabowo Subianto disebut sebagai target yang bombastis. Merujuk data sejak reformasi, Indonesia belum pernah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen ke atas.
Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan laju pertumbuhan Indonesia era Joko Widodo (Jokowi) hanya berkutat di kisaran lima persen dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 20 tahun terakhir menunjukkan tren penurunan.
"Era orde baru rata-rata pertumbuhannya delapan persen. Untuk mencapai delapan persen di era sekarang tentu menghadapi tantangan yang juga berbeda dengan masa orde baru," ujar Eisha dalam diskusi bertajuk "Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi)" di Jakarta, Ahad (22/9/2024).
Eisha menyebut sejumlah faktor geopolitik hingga ketidakpastian ekonomi global yang menjadi hambatan dalam merealisasikan target pertumbuhan ekonomi delapan persen tersebut. Eisha mengatakan peningkatan pertumbuhan ekonomi signifikan bisa saja terjadi dengan kontribusi maksimal dari sektor industri manufaktur.
Eisha menyampaikan industri manufaktur menjadi tumpuan dan pendorong pertumbuhan ekonomi pada periode 1989 hingga 1996. Sayangnya, lanjut Eisha, tren kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus merosot dalam dua dekade terakhir.
"Semester I 2024, pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,04 persen sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,08 persen," sambung Eisha.
Eisha menyampaikan industri manufaktur harus menjadi sektor yang mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Eisha mendorong pemerintahan Prabowo meningkatkan kinerja ekspor bernilai tambah yang bertumpu pada produk-produk industri pengolahan.
Eisha menilai peningkatan pertumbuhan industri manufaktur perlu dukungan ekosistem industri yang kondusif, mulai dari penyediaan pasokan bahan baku, energi, tenaga kerja terampil, infrastuktur hingga insentif fiskal maupun nonfiskal.
"Persoalannya, daya saing produk industri pengolahan untuk produk-produk medium high-tech, produktivitas industri pengolahan masih rendah, keterbatasan tenaga kerja terampil, dan modal besar untuk mendukung transformasi ke industri 4.0 dan digitalisasi," ucap Eisha.
Eisha menyoroti fokus pemerintah yang justru lebih memprioritaskan industri jasa ketimbang manufaktur. Menurut Eisha, hal ini justru tidak berdampak optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
"Kontribusi industri manufaktur terus turun kemudian digantikan industri jasa. Namun nyatanya belum mendapatkan penghasilan per kapita setara dengan negara maju sehingga kita kenal dengan deindustrialisasi dini," kata Eisha.