EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menyampaikan inflasi pada September 2023 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen, yakni pada level 1,84 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 2,12 persen. Meski itu menunjukkan terjadi deflasi dalam lima bulan berturut-turut, Kemenkeu menilai kondisi itu diharapkan jadi sinyal positif terjaganya daya beli masyarakat.
"Terjaganya level inflasi hingga September 2024 diharapkan dapat memberikan sinyal positif akan terjaganya daya beli masyarakat dan stabilitas harga. Namun demikian, Pemerintah tetap mewaspadai potensi terjadinya kelebihan pasokan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangan resmi, Kamis (3/10/2024).
Febrio mengatakan, perlambatan memang masih terus berlanjut sejak April 2024, didorong oleh penurunan sebagian besar harga pangan dan bensin nonsubsidi. "Harga beras yang bergerak stabil dan panen komoditas hortikultura mendorong kembali terjadinya deflasi untuk bulan kelima berturut-turut. Harga pangan yang terus melandai mendukung terjaganya akses pangan bagi masyarakat," ujar dia.
Febrio menuturkan, pemerintah akan terus bersiaga dalam mengantisipasi terjadinya cuaca ekstrem yang dapat menyebabkan gejolak pada harga pangan melalui koordinasi Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), khususnya memasuki masa peralihan musim.
Febrio melanjutkan, di tengah inflasi pangan yang melandai, inflasi inti tercatat naik menjadi sebesar 2,09 persen (yoy) yang didorong oleh kelompok perawatan pribadi, pendidikan, perumahan, serta rekreasi. Inflasi inti yang masih terjaga juga sejalan dengan tren pertumbuhan kredit konsumsi yang masih meningkat.
Adapun, inflasi volatile food terus melambat menjadi 1,43 persen, didorong oleh melimpahnya stok pangan, terutama cabai merah dan cabai rawit di berbagai daerah karena musim panen. Inflasi harga diatur Pemerintah juga tercatat mengalami perlambatan menjadi 1,40 persen (yoy), dipengaruhi oleh penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi.
Sementara itu, aktivitas manufaktur Indonesia pada September masih berada di zona kontraksi di level 49,2, dari angka pada bulan Agustus sebesar 48,9. Pelemahan kinerja manufaktur global, sebagaimana ditunjukkan oleh kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur selama tiga bulan berturut-turut, serta maraknya hambatan perdagangan menjadi faktor yang turut menekan kinerja manufaktur.
Di sisi lain, faktor kekhawatiran atas perlambatan ekonomi China juga masih membayangi, meski Pemerintah China telah berusaha membangkitkan optimisme pasar melalui paket stimulus yang cukup signifikan. Peluang ekspor manufaktur Indonesia diperkirakan masih cukup kuat, terutama hasil hilirisasi. Hal ini mulai terindikasi dari tren kenaikan beberapa harga komoditas seperti nikel, minyak sawit mentah (CPO) dan batubara.
Di tengah moderasi level PMI Indonesia, sebagian besar negara mitra dagang Indonesia juga mencatatkan kontraksi PMI manufaktur, seperti Amerika Serikat (47,0), China (49,3), dan Jepang (49,6). Sementara itu, beberapa negara tercatat ekspansi meskipun melambat, seperti India dan Thailand.
"Di tengah tantangan global, kinerja manufaktur domestik memperlihatkan perbaikan meskipun masih dalam zona kontraksi. Optimisme tetap kita jaga untuk capai target pertumbuhan ekonomi. Ke depan, Pemerintah akan terus melakukan evaluasi kebijakan dan anstispasi terhadap berbagai tantangan global untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan," terang Febrio.