EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) melakukan kajian terkait terkait pertumbuhan ekonomi 2025. INDEF menganalisis berdasarkan situasi yang terjadi saat ini.
Dimulai dari perlambatan konsumsi, kemudian pelemahan daya beli masyarakat. Sejak Mei-September 2024, Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun. Pertumbuhan ekonomi melambat dari kuartal I hingga kuartal III tahun ini.
"Dari sisi proyeksi ekonomi, kami memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 itu sekitar 5 persen, inflasi 2,8 persen, kurs rupiah terhadap dolar Rp 16.100 per satu dolar AS, tingkat pengangguran terbuka 4,75 persen, tingkat kemiskinan sekitar 8,8 persen," kata Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, dalam diskusi bertajuk "Tantangan Pelik Kabinet Baru: Meningkatkan Daya Beli, Menopang Industri”, di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Dalam paparannya, ia memulai dengan menyinggung kabinet di pemerintahan terbaru. Ada 107 menteri dan wakil menteri. Itu belum ditambah beberapa pejabat setingkat menteri seperti kepala lembaga, dan sebagainya.
Kabinet yang besar itu, lanjut Esther ditargetkan mencapai pertumbuhan ekomomi 8 persen. Dari beberapa data analisis INDEF, gambarannya seperti yang dijabarkan di atas. Itu menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mencapai tujuan mereka.
Beberapa indikator mengarah pada situasi ekonomi yang harus segera dicarikan solusinya. Penurunan daya beli mendapat sorotan lebih. INDEF melihat harus ada urgensi untuk mengoreksi tingkat suku bunga, menstimulus sektor-sektor riil, terutama industri.
"Untuk indikator daya beli di lokal pasar pun juga kita ketahui, perkembangan kebutuhan pokok yang dijual baik di e-commerce ini sempat mengalami penurunan volume penjualan. Kondisi ini menggambarkan betapa daya beli itu dari masyarakat mengalami pelemahan," tutur Esther.
Ia menerangkan, sinyal kebijakan moneter relatif ketat tahun ini. Lalu pandemi Covid-19 turut membuat perekonomian relatif lebih lambat. Ekonomi global pun tidak baik-baik saja, yang tentunya memengaruhi perekonomian domestik.
Deflasi 2024 mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat. Dalam catatan INDEF, deflasi kali ini lebih parah dibandingkan saat Covid. Sementara kredit perbankan hanya mencakup 34,79 persen dari PDB pada 2024, jauh di bawah rata-rata internasional.
Kemudian pertumbuhan kredit manufaktur yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kredit nasional, mencerminkan pelemahan sektor ini. Pada gilirannya mempersulit upaya untuk memacu produksi dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius.