EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar mata uang rupiah mengalami pelemahan pada perdagangan Selasa (15/10/2024). Pelemahan terjadi seiring dengan data update neraca perdagangan Indonesia yang kembali mencatatkan surplus, hingga tercatat sepanjang 53 bulan berturut-turut.
Mengutip Bloomberg, mata uang rupiah melemah 23 poin atau 0,15 persen menuju level Rp 15.588,5 per dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (15/10/2024). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di level Rp 15.565,5 per dolar AS.
“Sesuai ekspektasi, neraca perdagangan Indonesia masih mempertahankan tren surplus hingga 53 bulan berturut-turut. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca dagang September 2024 senilai 3,26 miliar dolar AS,” kata Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Selasa (15/10/2024).
Dengan realisasi tersebut, neraca dagang Indonesia terus mempertahankan tren surplus sejak Mei 2020. Ekspor per September 2024 tercatat senilai 22,08 miliar dolar AS, dengan nilai impor yang lebih kecil sehingga surplus terjaga. Total nilai impor mencapai 18,82 miliar dolar AS atau turun 8,91 persen dari Agustus 2024.
Surplus neraca dagang Indonesia per September 2024 itu tercatat naik 0,48 miliar dolar AS secara bulanan. Surplus itu lebih tinggi dari Agustus 2024 senilai 2,89 miliar dolar AS, tetapi lebih kecil dari posisi September 2023 senilai 3,41 miliar dolar AS.
Pada September 2024 neraca perdagangan barang mencatatkan surplus sebesar 3,26 miliar dolar AS atau naik sebesar 0,48 miliar dolar AS secara bulanan. Komoditas yang memberikan sumbangsih surplus utama adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), serta besi dan baja (HS 72).
Surplus neraca dagang RI Diproyeksi 2,9 miliar Secara kumulatif atau sepanjang periode Januari-September 2024, ekspor tercatat senilai 192,85 miliar dolar AS dan impor senilai 170,87 miliar dolar AS, sehingga surplus neraca dagang barang Indonesia periode Januari-September 2024 mencapai 21,98 miliar dolar AS.
Sentimen eksternal
Ibrahim melanjutkan, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh sentimen eksternal pula. Di antaranya adalah sentimen serangkaian data AS menunjukkan bahwa ekonomi tetap tangguh dan hanya melambat sedikit. Sementara inflasi pada September naik sedikit lebih tinggi dari yang diharapkan, yang menyebabkan para pedagang memangkas spekulasi tentang pemangkasan suku bunga besar-besaran dari Fed.
“Beberapa komentar yang cenderung agresif dari pejabat Fed juga mendorong dolar,” lanjutnya.
Gubernur Christopher Waller mengatakan, ia mendukung sikap hati-hati untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang, dengan mengutip tanda-tanda ketahanan terkini dalam ekonomi AS dan inflasi yang kuat. Waller menyebutkan ‘apa pun yang terjadi dalam waktu dekat, dasar saya tetap menyerukan pengurangan suku bunga kebijakan secara bertahap selama tahun depan’.
Selain itu, sentimen eksternal lainnya yakni persoalan geopolitik di wilayah Timur Tengah. Yang mana Israel memperluas targetnya dalam perang melawan militan Hizbullah di Lebanon pada Senin, menewaskan sedikitnya 21 orang dalam serangan udara di utara. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada AS bahwa Israel bersedia menyerang target militer Iran dan bukan target nuklir atau minyak, Washington Post melaporkan pada Senin malam.
Kemudian sentimen dari kondisi ekonomi di China. Pembacaan ekonomi yang lemah dari China juga merusak sentimen terhadap negara tersebut. Data pada hari Senin menunjukkan neraca perdagangan negara itu tumbuh kurang dari yang diharapkan karena pertumbuhan ekspor melambat tajam.
Data sebelumnya menunjukkan, disinflasi Negeri Panda masih terus berlanjut. Selain itu, pengumuman langkah-langkah stimulus fiskal baru dari Beijing juga hanya memberikan dukungan singkat, mengingat pemerintah membuat investor menginginkan beberapa rincian penting.