Upaya ini dilakukan dalam rangka mengatasi backlog kepemilikan rumah yang telah mencapai 9,9 juta rumah keluarga tidak atau belum memiliki rumah, serta lebih dari 50 persen masyarakat miskin tinggal di rumah tak layak huni. Selain itu, 24,6 juta rumah tangga yang memakai listrik 450 watt memiliki rumah dengan kondisi tak layak huni.
Dia menyampaikan sejumlah isu sektor perumahan yang menjadi kendala. Mulai dari belum adanya pendataan kebutuhan by name by address yang telah didiskusikan dengan Menteri Sosial, agar ke depan dapat disediakan database bagi bank dan para pengembang, lalu penyerapan program kepemilikan rumah belum rata kepada semua jenis pekerjaan, terutama guru, pekerja informal, hingga TNI/Polri terkhusus yang memiliki pangkat rendah.
Tantangan lainnya adalah anggaran pemerintah daerah (pemda) terkait perumahan terbatas pada bantuan mengenai bencana; pemukiman kumuh tak termasuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kemudian, belum optimalnya kebijakan antara nasional dan daerah, hingga belum optimalnya sinkronisasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan pemda berkaitan dengan isu pertanahan serta perizinan.
“Berdasarkan pengalaman kami dalam menjalankan program perumahan, perizinan menjadi salah satu komponen penting yang harus mendapat perhatian, mengingat jumlah unit yang akan dibangun semakin lama semakin besar yang memerlukan kepastian waktu proses pengurusan perizinan di seluruh daerah. Saat ini, kami mendengar bahwa pengurusan perizinan masih belum dan belum satu pintu, sehingga menghambat pengembang dalam membangun perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),” ujar Dirut BTN itu pula.