Senin 18 Nov 2024 18:05 WIB

PHRI Ungkap Sederet Kebijakan Pemerintah Hambat Pemulihan Sektor Pariwisata

Peningkatan okupansi pascapandemi tak selalu berbanding lurus dengan pendapatan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
PHRI menilai PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 akan semakin menghambat laju pemulihan sektor pariwisata. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
PHRI menilai PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 akan semakin menghambat laju pemulihan sektor pariwisata. (ilustrasi)

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 1 Januari 2025 akan semakin menghambat laju pemulihan sektor pariwisata. Maulana mengatakan pelaku usaha perhotelan dan restoran saat ini tengah berjuang keras untuk dapat kembali pulih dari efek pandemi. 

"Setelah (pandemi) covid itu hampir dikatakan sulit kita menemukan momentum high season," ujar Maulana saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/11/2024).

 

Maulana menjelaskan perbaikan kondisi usaha perhotelan tak bisa hanya bersandar pada aspek okupansi atau tingkat hunian kamar. Maulana menyampaikan peningkatan okupansi pascapandemi tak selalu berbanding lurus dengan aspek pendapatan usaha. 

 

"Faktanya pendapatannya itu belum naik, pendapatan itu masih drop hampir antara 10 persen sampai 15 persen. Masih terlalu jauh untuk saat ini. Jadi kita masih sulit untuk pemulihan," ucap Maulana. 

 

Selain rencana kenaikan PPN 12 persen, lanjut Maulana, industri perhotelan dan restoran juga terbebani dengan rencana penyesuaian retribusi dan pajak dari masing-masing pemerintah daerah. Maulana menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya dapat melakukan harmonisasi terkait masalah penetapan fiskal tersebut. 

 

"Supaya tidak tumpang tindih dan akhirnya menjadi beban dunia usaha. Yang mana kalau kita perhatikan situasi ekonominya itu sekarang tidak tidak sedang baik-baik saja, kelas menengah sedang turun ke kecil, serapan tenaga kerja rendah," sambung Maulana. 

 

Penyesuaian tarif hotel

 

Maulana belum dapat memastikan keputusan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen berdampak pada perubahan tarif kamar hotel. Maulana menyampaikan perubahan tarif hotel akan dilakukan setelah memperhitungkan beban biaya operasional.

 

Maulana menilai kenaikan PPN 12 persen bisa saja menjadi pemicu terhadap lonjakan beban operasional hotel. Hal ini berimplikasi pada industri perhotelan untuk melakukan penyesuaian tarif. "Itu yang seharusnya menjadi pertimbangan," ujar Maulana. 

 

Maulana juga mengkhawatirkan PPN 12 persen terhadap peningkatan harga tiket pesawat. Maulana mengatakan aspek transportasi, terutama pesawat merupakan hal yang sangat krusial dalam meningkatkan pertumbuhan pariwisata. 

 

Maulana meyakini hal ini akan membuat cost of traveling atau biaya perjalanan pariwisata di Indonesia akan semakin mahal. Maulana menilai kondisi tersebut akan menurunkan daya saing sektor pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga. 

 

"Contoh saja, kalau kita perhatikan harga tiket (pesawat) dengan PPN naik 12 persen itu pasti ada dampaknya nanti. Belum lagi komponen peningkatan lain di bandara seperti airports tax dan lain-lainnya," lanjut Maulana. 

 

Maulana juga berharap upaya efisiensi yang digencarkan Presiden Prabowo tidak mengarah pada pembatasan perjalanan dinas ke luar kota. Maulana menyampaikan wisatawan nusantara (wisnus), terutama kegiatan perjalanan kerja pemerintahan menjadi penyokong utama sektor pariwisata pascapandemi. 

 

"Jangan sampai justru kontradiktif antara upaya pemerintah mendorong pergerakan wisnus, tapi di sisi lain melakukan efisiensi besar-besaran terhadap kegiatan pemerintah, ini nanti dampak ekonomi di pariwisata daerah tidak berjalan karena tidak pergerakan," kata Maulana. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement