Dengan berbagai keunggulan yang ada maka wajar menjadikan panas bumi sebagai backbone menuju swasembada energi. "Panas bumi sebagai based load resources, tidak bisa dimungkiri panas bumi menjadi backbone transisi energi siap menggantikan fossil fuel," ungkap Yurizki.
PGE dengan kemampuannya dalam mengembangkan asset, lanjut Yurizki, optimistis bakal menjadi mesin utama untuk membentuk ekosistem panas bumi di Indonesia. Indikatornya, saat ini PGE telah mencatat cadangan panas bumi terbukti dengan kapasitas sebesar 1,1 GW. Lalu ada ekstra tambahan potensi cadangan yang siap untuk dieksplorasi dengan kapasitas 2,1 GW.
"Total 3,1 - 3,2 GW, dan itu 75 persen berada lapangan kami, lokasi di area pengembangan jadi bisa dipercepat," ujar dia.
Dalam 10 tahun ke depan PGE berencana meningkatkan kapasitas terpasangnya secara masif. Pada 2028, misalnya, perusahaan berencana meningkatkan kapasitas terpasang PLTP menjadi 1 GW dari posisi saat ini 672 MW. Dua tahun kemudian atau tahun 2030 meningkat lagi menjadi 1,3 GW. Pada 2035, PGE memproyeksikan kapasitas terpasang PLTP tumbuh menjadi 1,7 GW .
Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, PGE bakal memanfaatkan pendanaan internal perusahaan yang masih tersedia setelah dilakukannya Initial Public Offering (IPO). "Kami memiliki strong financial power 650 juta dolar AS 60 persen dari IPO, 40 persen dana operasional ini ruang besar untuk dapatkan financing tambahan jika diperlukan support," ujar Yurizki.
Subkoordinator Perencanaan Wilayah Usaha Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Faldolly Ardin menyatakan untuk mendukung pemanfaatan panas bumi jaringan listrik memang menjadi kunci. Untuk itu pemerintah telah membuat peta jalan pengadaan supergrid sebagai kunci dalam transisi energi.
"Melalui pembangunan supergrid, investasi pembangkit EBT menjadi lebih menarik (karena lokasi biasanya jauh dari demand)," kata Faldolly.
Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Warsono menyatakan PLN telah mengembangkan Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang didalamnya termasuk pengembangan supergrid. Melalui implementasi ARED maka ditargetkan bisa dilakukan akselerasi dalam penyediaan EBT lebih cepat 75 persen dibandingkan business as usual.
"Ini bisa menjadi solusi dari kondisi mismatch yang terjadi antara potensi EBT dengan pusat kebutuhan listrik," tuturnya.