EKBIS.CO, JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada 2025. Angka ini melampaui hitungan berdasarkan formula Undang-Undang Cipta Kerja yang berada di kisaran 3–4 persen.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai kenaikan UMP sebesar 6,5 persen sebagai langkah yang cukup progresif dalam mendukung konsumsi domestik, meskipun tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan buruh yang menginginkan kenaikan hingga 8–10 persen.
“Kenaikan UMP 6,5 persen ini sebenarnya cukup tinggi dibandingkan formula dalam UU Cipta Kerja. Langkah ini diharapkan dapat mendorong konsumsi kelas menengah, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi,” ujar Josua dalam diskusi 2025 Economic Outlook di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Josua menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara peningkatan kesejahteraan buruh dan keberlanjutan usaha. Dengan kenaikan UMP, diharapkan pengeluaran masyarakat, terutama di sektor konsumsi, dapat kembali meningkat, sekaligus membantu pemulihan ekonomi pascapandemi.
Namun, ia juga mengingatkan belum pulihnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memerhatikan dampak kenaikan upah ini terhadap inflasi dan keberlanjutan usaha, khususnya di sektor yang padat karya.
“Momentum pemulihan ekonomi harus terus dijaga. Selain kenaikan UMP, pemerintah juga perlu fokus pada ketahanan pangan dan kesejahteraan kelompok rentan seperti petani, karena sektor ini masih menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” ujar dia.
Kebijakan kenaikan UMP juga diprediksi dapat memberikan tekanan tambahan pada inflasi. Josua mencatat inflasi saat ini berada di level yang terkendali, yakni di bawah 2 persen, namun diperkirakan akan naik ke level 3 persen pada 2025, seiring dengan kebijakan kenaikan UMP dan PPN.
“Kenaikan UMP di satu sisi dapat memperkuat daya beli, tetapi perlu diimbangi dengan kebijakan yang menjaga stabilitas harga, terutama kebutuhan pokok, agar tidak menimbulkan tekanan tambahan pada masyarakat,” jelas Josua.
Kenaikan UMP sebesar 6,5 persen dinilai sebagai salah satu langkah pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa pemulihan ekonomi perlu terus didukung dengan kebijakan yang inklusif dan berfokus pada peningkatan kualitas tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru.