EKBIS.CO, JAKARTA--Kenaikan harga pangan dunia akibat perubahan iklim tak akan mempengaruhi harga pangan nasional. Pemerintah bahkan optimistis produksi sejumlah komoditas pangan, khususnya padi, akan terkerek naik akibat perubahan iklim yang terjadi tahun ini.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto, mengatakan, pemerintah sudah mempersiapkan dampak perubahan iklim dengan mengembangkan sejumlah varietas benih baru. Benih-benih varietas baru yang dihasilkan para peneliti di balai-balai penelitian pemerintah, telah berhasil menjawab tantangan kondisi iklim yang ekstrim.
"Kita sudah punya benih-benih unggulan yang berumur tanam pendek, tahan rendaman, tahan kering, dan tahan hama," ujar Gatot melalui sambungan telepon kepada //Republika//, Jumat (13/8).
Karenanya, lanjut Gatot, pemerintah tidak terlalu khawatir perubahan iklim akan mengganggu produktivitas pangan nasional. Sejauh ini, sejumlah komoditas pangan utama seperti padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan kedelai masih mampu terproduksi dalam jumlah yang sangat banyak. "Secara umum pangan kita aman. Justru perubahan iklim ini berkah bagi kita karena banyak hujan, petani pun banyak tanam," ucap Gatot.
Kendati demikian, Gatot mengakui, perubahan iklim sedikit mengkoreksi produksi jagung dan kedelai nasional. Akan tetapi, turunnya produksi jagung dan kedelai disebabkan adanya perubahan varietas tanam petani. Para petani yang biasa menanam jagung dan kedelai, kini lebih memilih menanam padi lantaran keuntungan panennya lebih bagus. "Kan ada lahan yang selama ini dipakai untuk tanam jagung dan kedelai sama dengan lahan untuk tanam padi. Makanya produksi jagung dan kedelainya sedikit terkoreksi."
Gatot menerangkan, dibandingkan ancaman perubahan iklim, produktivitas pangan nasional sejatinya lebih terancam dengan tiga faktor pengganggu yang bersumber dari alam. Ketiga faktor itu adalah banjir, kekeringan, dan serangan hama atau organisme pengganggu tanaman (OPT). "Untuk serangan OPT utamanya wereng batang coklat. Inilah yang saat ini sedang kita waspadai."
Ihwal ketersediaan pangan, Gatot melanjutkan, pemerintah masih bisa mempertahankan produksi komoditas-komoditas yang sudah mencapai swasembada, yaitu padi, jagung, dan gula konsumsi. Untuk komoditas perkebunan, Indonesia juga sudah mencatatkan diri sebagai negara pengekspor utama kelapa sawit, jambu mete, dan mangga. Sementara untuk peternakan, produksi ayam ras pedaging dan telur sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. “Jadi memang secara umum pangan kita aman,” tegas Gatot.
Khusus untuk beras, pemerintah optimistis dapat mempertahankan capaian swasembada beras yang sudah terjadi sejak 2008 lalu. Alasannya, produksi beras pada tahun ini menunjukkan peningkatan yang baik kendati tidak sebesar yang diharapkan.
Berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi sampai dengan akhir bulan Juli 2010 mencapai 65,151 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat 1,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "ARAM II BPS ini tentu menggembirakan," ujar Gatot.
Menurut Gatot, produksi padi 2010 masih berpotensi meningkat dengan memperluas luas panen dan produktivitas padi saat ini. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, produksi padi selama tiga tahun terakhir menunjukkan grafik meningkat. Pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 4,49 persen.
Dengan pertumbuhan produksi sebesar itu, Indonesia berhasil mencapai surplus beras (swasembada) berturut-turut 2,367 juta ton (2008), 3,895 juta ton (2009), dan 4,322 juta ton (perkiraan 2010). "Angka ini membuktikan jika perubahan iklim tak sampai mengganggu produksi beras, sehingga swasembada tak terancam," tandas Gatot.