EKBIS.CO, JAKARTA-- Menerima kehadiran BlackBerry di Indonesia ibarat mendatangkan dua hal sekaligus; kemudahan yang memanjakan sekaligus tekanan terhadap kedaulatan negara.
Semua orang pasti sepakat, gadget keluaran Research in Motion (RIM) itu amat praktis. Blackberry mampu mengoperasikan berbagai aplikasi dalam satu alat ditambah kemudahan lain yang "multi-tasking" makin menjadikan ponsel pintar itu sebagai piranti untuk "menggenggam dunia".
Namun sayang, kemudahan yang memanjakan itu juga mendatangkan persoalan lain yang membuat pemerintah harus bersikap tegas yakni terusiknya kedaulatan negara oleh sebuah korporasi; RIM.
Sudah sejak Agustus 2010, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) meminta RIM agar membuka kantor perwakilannya di Indonesia agar konsumen di Tanah Air yang terus melonjak jumlahnya tidak dirugikan.
Pada perkembangannya RIM memang membuka service center di Jakarta, tetapi sayang, fakta yang ada penanggung jawabnya masih tetap berada di Kanada sebagai "home base" perusahaan IT tersebut.
Kini ketika jumlah pelanggan layanan BlackBerry (BB) di Indonesia telah menyentuh angka tiga juta pelanggan yang terdiri dari dua juta pelanggan resmi dan satu juta "black market", RIM makin kuat mencengkeramkan kuku-kukunya di Tanah Air.
Perusahaan yang mulai masuk ke Indonesia pada akhir 2004 itu telah merasa demikian besar pengaruhnya di Indonesia, namun sayang tampak tidak terlampau mengindahkan aturan main berbisnis di Indonesia.
Fakta itulah yang membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, merasa demikian gerah dengan sikap dan keberadaan RIM di Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memperkirakan pendapatan bersih produsen BlackBerry (BB), Research in Motion (RIM), di Indonesia mencapai Rp2,268 triliun per tahun.
"Dengan rata-rata menagih 7 dolar AS per orang per bulan, RIM menangguk pemasukan bersih Rp189 miliar per bulan atau Rp2,268 triliun per tahun. Itu uang rakyat Indonesia untuk RIM," kata Tifatul Sembiring.
Ia menegaskan sampai saat ini produsen BlackBerry, Research in Motion (RIM), dalam mengoperasikan BlackBerry di Indonesia tidak menyetorkan pajak sepeser pun ke Indonesia.
Perusahaan itu juga tidak membangun infrastruktur jaringan dalam bentuk apapun di Tanah Air, karena seluruhnya menggunakan jaringan milik enam operator telekomunikasi di Indonesia.
Pihaknya merasa sangat perlu untuk memberikan peringatan kepada RIM yang mengoperasikan BlackBerry di Indonesia. "Salahkah kita meminta 'jatah' buat NKRI seperti tenaga kerja, konten lokal, menuntut untuk menghormati dan mematuhi ketentuan Hukum dan UU di RI yang berdaulat ini," katanya.
Ia mengatakan, sampai saat ini semua operator lain yang beroperasi di Indonesia sudah menjalankan dan mematuhi UU dan peraturan RI, termasuk membayar BHP frekuensi, pajak, merekrut tenaga kerja lokal, mengalokasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Selain itu, operator lain yang beroperasi di Indonesia juga telah sepakat untuk bersama pemerintah melakukan upaya memblokir situs pornografi. "Kelirukah kita jika minta RIM menjalankan UU dan aturan yang sama? Apakah RIM perlu diberi keistimewaan dan perkecualian?"tanyanya.
Pihaknya menegaskan akan terus mengingatkan semua pihak khususnya RIM agar menghormati hukum dan UU. "Ini untuk kepentingan yang lebih luas. Diberi sepotong "kue kecil" lantas mati-matian membela asing. Minta hak yang besar untuk bangsa yang terhormat ini," katanya.
Informasi Keliru
Persoalan kedaulatan negara yang terusik tak sebanding dengan sebuah kemudahan yang ditawarkan alat berteknologi canggih. Namun akibat penyebaran informasi yang bias, kontroversi dan tarik ulur pun kemudian muncul.
Pengamat komunikasi yang juga Staf ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, Henri Subiakto, mengatakan kontroversi mengenai peringatan pemerintah kepada RIM yang mengoperasikan BlackBerry di Indonesia adalah karena masyarakat belum mendapat informasi yang cukup.
"Akibatnya informasi yang diterima keliru. Padahal, ancaman atas penutupan RIM merupakan upaya untuk memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia," katanya.
Permintaan pemerintah itu antara lain RIM harus mendirikan kantor perwakilan, menyediakan pusat layanan, menyediakan server yang bisa dialihkan menjadi repeater, menggunakan konten lokal, hingga memblokir situs porno.
Henri Subiakto juga mengatakan pihak yang menentang peringatan pemerintah tersebut kemungkinan memiliki kepentingan dengan pihak asing. "Bisa juga mereka yang senang dengan ketertutupan karena tidak mau servernya di Indonesia," kata Henri Subiakto.
Pengamat politik, Indra J. Piliang, dalam akun twitternya beberapa hari lalu, berpendapat Menteri Tifatul Sembiring sedang mengajak bangsa Indonesia untuk berpikir sesuai dengan UU. "Bahwa teknologi semacam RIM adalah wilayah kedautalan negara," tulisnya.
Menurut dia, negara dijalankan dengan UU, sehingga mau mengganti Tifatul Sembiring dengan orang lain untuk menjadi Menkominfo juga UU-nya akan tetap sama, kecuali kemudian UU-nya diganti.
"Sudah lama bangsa ini didikte oleh perusahaan-perusahaan asing yang mengambil untung di Indonesia," katanya.
Murni Bisnis
Banyak kalangan yang tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, berpendapat persoalan BlackBerry di Indonesia hanya sekadar pengalihan isu dari karut-marut yang lebih besar.
Namun pada dasarnya, keengganan RIM untuk mengikuti aturan main di Indonesia kemungkinan besar lantaran sudah terlanjur menikmati keuntungan bisnis yang amat besar di tanah air dan menganggap aturan di Indonesia sebagai sesuai yang bisa dinegosiasikan.
Moderator id-BB, Agus Winarto, sebagai salah satu pihak yang menjalin kerja sama dengan RIM untuk menyelenggarakan layanan BB di Indonesia mengatakan, masalah penyaringan konten yang dituntut pemerintah kepada RIM adalah murni menyentuh persoalan bisnis.
Pihaknya menyatakan tidak keberatan untuk mendukung upaya pemerintah tersebut. "'Content filtering' adalah murni bisnis. Seharusnya ada solusi sama-sama yang 'win-win'. Kami mengajak mari bersama-sama untuk menyisihkan keuntungan untuk melakukan konten filtering," katanya.
Pada prinsipnya, hal itu kembali pada ketegasan pemerintah untuk bersikap, meski tidak harus seperti Arab Saudi, China, atau Uni Emirat Arab yang mengambil langkah untuk memblokir BlackBerry secara keseluruhan, namun pemerintah harus mengambil langkah yang paling pas untuk Indonesia yang berkedaulatan dengan lebih bijak.
"Kita bukan Arab Saudi. Kita tidak ingin latah, semua ada skenario dan solusi yang cerdas yang sesuai dengan kebijakan dan aturan di Indonesia," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S. Dewa Broto.
Namun, semua pihak sudah seharusnya sepakat ketika pemerintah melalui Menteri Keuangan berupaya menelusuri pajak RIM di Indonesia. "Kalau seandainya ada komponen royalti atau kewajiban yang dia belum bayar pajak, nanti saya cek, kalau memang itu belum, kita akan tagihkan," kata Menteri Keuangan, Agus Martowardojo.
Apapun alasannya, kedaulatan dan kehormatan negara harus dijunjung tinggi ketimbang sekadar kemudahan sebuah alat.