EKBIS.CO, JAKARTA - Penguatan Rupiah terhadap Dolar AS perlu dijaga agar tidak mengganggu ekspansi ekspor. Pemerintah dan Bank Indonesia harus mulai menghitung implikasi dari apresiasi Rupiah tersebut. Dengan penguatan Rupiah, Utang memang jadi turun, tapi kemampuan ekspor juga bisa menurun.
"Coba itu dicari formula, keseimbangannya itu di titik berapa yang paling optimal," kata ekonom Indef Ahmad Erani Yustika dalam 'Seminar Kajian Tengah Tahun Indef 2011', Kamis (28/7). Bank Indonesia perlu melakukan intervensi agar jangan sampai untung di satu sisi, tapi minusnya lebih banyak lagi.
Menurut Erani, keuntungan Rp 8,6 triliun dari penurunan bunga utang tidak ada apa-apanya dibanding dengan kerugian dari ekspor yang mandek. Dia belum melakukan kajian mengenai posisi ideal Rupiah yang tak menganggu ekspor, namun jika nilai tukar Rupiah di bawah Rp 9.000 per dolar AS membuat kemampuan ekspor menurun.
Masalahnya, kata Erani, di Indonesia suku bunganya besar, yakni 14 persen. Selain itu, logistik mahal, infrastruktur belum memadai, dan perijinan kurang mendukung. "Itu yang membuat begitu Rupiah di bawah Rp 9.000, kita agak sulit daya saingnya," kata Erani. Jika Rupiah lebih kuat dari Rp 9.000 sulit untuk ekspansi ekspor.
Terkait dengan pengaruh apresiasi Rupiah terhadap inflasi, Erani tak begitu khawatir. Dia tidak melihat ada sesuatu yang membahayakan dari penguatan Rupiah terhadap inflasi pada tahun ini, kecuali kalau tiba-tiba ada pelemahan Rupiah yang luar biasa sampai Rp 9.500 akan berbahaya bagi impor.