EKBIS.CO, JAKARTA - Indonesia harus segera melakukan manajemen antisipasi krisis yang fokus dan terukur, terkait dengan kemungkinan menularnya krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan Eropa. Demikian dikatakan anggota Komisi Keuangan Perbankan DPR dari FPDI-P, Arif Budimanta.
Menurutnya krisis kali ini berbeda dengan krisis 2008 yang dipicu oleh bangkrutnya lembaga-lembaga jasa keuangan. Kali ini krisis lebih parah karena datangnya akibat membengkaknya utang publik dan pemerintah.
Apabila krisis utang ini diikuti oleh krisis di industri jasa keuangan (perbankan, perusahaan investasi dsb), maka keadaan akan semakin buruk. Karena pemerintah negara tersebut hampir tidak lagi memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada industri keuangan yang membutuhkan pertolongan. Pemerintah dan swasta berada dalam jurang kebangkrutan yang sama.
Arif mengatakan, terintegrasinya perekonomian dunia, khususnya sektor pasar keuangan antar negara, telah membuat mobilitas modal hampir tanpa hambatan. Hal ini, meskipun membantu kelancaran perdagangan internasional, tetapi juga membantu mempercepat proses terjangkitnya banyak negara terhadap krisis yang terjadi disebuah negara. Apalagi Amerika yang mata uangnya banyak dijadikan alat transaksi perdagangan internasional termasuk perdagangan migas.
Aliran modal yang belakangan masuk cukup deras ke dalam negeri boleh jadi menjadi mesin penghancur perekonomian yang sangat efektif jika tidak dijaga dan dimanfaatkan dengan baik.
Menurut Arif, kemungkinan buruk terjadinya capital outflow akibat krisis likuiditas negara-negara investor nantinya akan berimplikasi pada banyak hal di Indonesia, mulai dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah, terdorongnya tingkat inflasi, hingga krisis likuditas di pasar keuangan dalam negeri. Semua ini harus diantisipasi sejak saat ini. “Belum adanya standar prosedur penanganan krisis yang jelas dan memadai dapat menjadi sumber utama kepanikan pelaku pasar di Indonesia,” katanya.