EKBIS.CO, JAKARTA – Sebanyak 129 perusahaan tambang diwajibkan secara transparan mengungkapkan besaran keuntungan yang diterimanya dari kegiatan eksplorasi tambang di Indonesia. Hal ini sebagai wujud implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di Indonesia. Inisiatif ini selanjutnya akan ditularkan ke negara Asia Tenggara lainnya.
Ketua tim formatur EITI Indonesia, Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan, EITI merupakan inisiatif yang diberlakukan agar pemerintah mendapatkan laporan yang sebenar-benarnya terkait perolehan keuntungan perusahaan tambang. "Selain itu, perusahaan harus melaporkan pula seberapa banyak kewajiban yang diberikannya kepada pemerintah," katanya, Senin (7/11).
Di lain pihak, pemerintah pun harus mengungkapkan secara transparan berapa banyak dana yang telah diterimanya dari perusahaan tambang tersebut. Bila ada perbedaan antara dana yang disalurkan perusahaan dan dana yang diterima pemerintah. Maka dilakukan tahapan rekonsiliasi. Rekonsialiasi dilakukan oleh auditor independen. Hasil dari verifikasi tersebut kemudian disampaikan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian.
Terdapat 129 perusahaan tambang yang diwajibkan untuk mengimplementasikan EITI ini. Mereka adalah perusahaan minyak dan gas yang memiliki total nilai migas yang diserahkan kepada negara di 2009 lebih dari 10 juta dolar AS. Berdasarkan kriteria ini, terdapat 49 pembayar penerimaan kontrak bagi hasil yang dikendalikan oleh 20 perusahaan produsen minyak dan gas terbesar yang diwajibkan lapor.
Selain itu, perusahaan yang wajib lapor adalah perusahaan mineral dan batubara yang jumlah royalti yang diserahkan kepada negara pada 2009 lebih dari 1 juta dolar AS. Yang masuk dalam kriteria ini adalah 5 perusahaan tembaga atau emas, 4 perusahaan timah, 2 perusahaan bauksit, dan 3 perusahaan nikel. Tak hanya itu, terdapat 28 perusahaan batubara terbesar di Indonesia dan 40 unit produksi di bawah kendali mereka.
Semua perusahaan tersebut harus sudah melaporkan pendapatannnya dalam formulasi laporan (template) yang telah disiapkan oleh tim formatur EITI pada 2012 mendatang. Selanjutnya, tim tersebut akan melakukan verifikasi dan selanjutnya menyelesaikan validasi pada April 2013.
“Data yang dihasilkan dari pelaporan tersebut akan dapat digunakan oleh pemerintah,” katanya. Entah itu untuk menetapkan besaran APBN ataupun sebagai bukti administrative saat melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan sejumlah perusahaan.
EITI resmi diterapkan di Indonesia sejak 2010 sejalan dikeluarkannya peraturan pemerintah No 25/2010 tentang transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif. “Selama ini terdapat kecurigaan bahwa hasil pendapatan negara yang diterima dari industri ini tidak maksimal,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa.
Hal ini disebabkan karena buruknya tata kelola industri ekstraktif Indonesia. Terutama akibat kerapnya terjadi praktek korupsi. “Padahal bila seluruh pendapatan dari kegiatan eksplorasi migas diterima penuh negara, maka dana tersebut dapat dimaksimalkan untuk pembangun,” katanya. Masalahnya tidak hanya terdapat di perusahaan tambang. Namun juga akibat adanya praktik catut pendapatan yang dilakukan oleh pemrintah daerah seiring diberlakukannya kebijakan desentralisasi. “Oleh karena itu hal ini harus segera dibenahi,” katanya.